Mari Mengenal Latar Belakang Lahirnya Islam Nusantara
Dalam pembukaan acara Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU, Minggu, 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj kembali mempopulerkan istilah Islam Nusantara ke publik.
Menurut KH Said Aqil Siradj, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara yang ia maksud merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya “dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras, Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.”
KH Said Aqil Siradj juga menambahkan Islam Nusantara memiliki karakter “Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran.” Sebagai suatu model, Islam Nusantara berbeda dari apa yang disebutnya sebagai “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.” Kita pun mafhum, apa yang sedang terjadi di beberapa negara Arab saat ini, seperti Libya, Suriah, Iraq, Mesir, Yaman yang tidak sepi dari kekerasan dan konflik bersaudara, serta yang terbaru bom bunuh diri yang menggoncang Saudi Arabia dan
Kuwait.
Gayung bersambut, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang saat itu hadir, membuka dan memberikan kata sambutan. Jokowi menceritakan dalam setiap pidatonya di konferensi – konferensi internasional yang ia ikuti, seperti KAA (Konferesi Asia Afrika) dan G-20 ia menegaskan kebanggaan dan kekuatan bangsa Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Di tengah perpecahan dan perang saudara di Timur Tengah yang penduduknya mayoritas muslim, Indonesia tetap mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. “Alhamdulillah Islam kita, Islam Nusantara,” puji Jokowi sekaligus membuka rahasia di balik persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Islam Nusantara yang ia maksud adalah “Islam yang penuh sopan santun, penuh tata krama dan toleransi. Itu lah Islam Nusantara.”
Nahdlatul Ulama, ormas keislaman terbesar di Indonesia tengah gencar mempromosikan istilah Islam Nusantara yang akan menjadi tema Muktamar ke-33 yang akan dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus 2015, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Selain Jokowi, dukungan juga disampaikan oleh Wakil Presiden Jusul Kalla, yang sering memakai istilah Islam Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ikut menyambut gagasan Islam Nusantara ini dalam acara buka bersama dengan Ikatan Alumni PB PMII di Jakarta, Minggu, 28 Juni 2015.
Lukman Saifuddin menerangkan wacana Islam Nusantara yang belakangan menjadi gagasan sebagian umat mengenai identitas Islam di Indonesia kini tengah menjadi perbincangan di dunia internasional. Dunia seakan tengah menempatkan Islam Indonesia sebagai model peradaban Islam modern. “Istilah Islam Nusantara kini menjadi sebuah wacana yang mendunia sekarang, di banyak perguruan tinggi ternama di Eropa maupun di Amerika. Islam Nusantara menjadi diskursus dan akan menjadi sebuah term.”
Namun ia meminta agar istilah Islam Nusantara terus didalami karena ia mengkhawatirkan istilah ini akan dianggap sebagai pandangan atau faham yang justru bisa kontra produktif kalau tidak kita jelaskan dengan baik. Bisa-bisa Islam Nusantara dimaknai sebagai upaya memecah belah atau mengotak-kotakan Islam, yang pada hakekatnya satu. “Ini tentu adalah tugas kita semua untuk bisa menjelaskan secara lebih gamblang, apa esensi, apa substansi dari istilah tersebut,” pinta Menteri Agama. (portal kemenag.go.id)
Islam Nusantara pun bergulir ke publik. Diberitakan media-media dan menjadi percakapan di media-media sosial, facebook, twitter, blog, grup diskusi WhatApp, BlackBerry dan lainnya dengan bermacam tanggapan, baik yang pro maupun kontra.
Sambutan terhadap Islam Nusantara datang dari komunitas muslim di Amerika Serikat yang mengadakan diskusi antara para pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Diskusi yang diprakarsai Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, Nusantara Foundation dan Dompet Dhuafa mengangkat tema Islam Nusantara. Islam Nusantara dijadikan contoh bagi negara-negara dunia untuk menunjukkan keragaman, toleransi dan demokrasi.
Salah seorang pembicaranya adalah Dr. James B. Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, ia mengatakan “Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh bagi seluruh negara.”
Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia, dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan “Gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam. Ada banyak cara untuk memahami Islam dan banyak cara untuk berinteraksi dengan non Muslim. Muslim di sana juga punya banyak pengalaman berbeda. Jadi ada banyak pelajaran yang bisa dipetik.” (voaindonesia.com 7 Juli 2015).
Setelah menjadi wacana publik, Islam Nusantara dibahas dari perspektif yang beragam, sekaligus beragam
tanggapan, baik yang pro dan kontra. Kekhawatiran Menteri Agama bahwa istilah ini bisa dianggap sebagai memecah belah Islam yang hakikatnya satu mulai terbukti dengan munculnya alasan kubu yang menolak dengan nada yang sama seperti yang dikhawatirkan Menteri Agama. Kontroversi terletak pada istilah “Islam Nusantara”, yang dituding penjelmaan Islam jenis baru. Pun juga komentar KH Said Aqil terhadap istilah “Islam Arab” yang menohok gerakan pemurniaan Islam melakukan gerakan lebih ke arabisasi daripada islamisasi.
Dalam konteks ini, anjuran Menteri Agama untuk menjelaskan dan mengisi makna Islam Nusantara menemukan relevansinya. Apakah Islam Nusantara hanya satu model, seperti yang dibayangkan oleh kalangan Nahdliyin yang mempromisikannya? Bagaimana dengan “Islam-Islam lain” yang dipahami oleh ormas-ormas keislaman yang ada, atau Islam di luar Jawa yang menjadi basis kalangan Nahdliyin? Apakah hanya berkaitan dengan sejarah lama, ketika penjelasan lebih lanjut dari kalangan Nahdliyin Islam Nusantara ini merujuk pada era Wali Songo? Bagaimana dengan nilai-nilai keindonesiaan, dan masa depan Islam di Indonesia itu sendiri? Apa relevansinya Islam Nusantara untuk konteks saat ini dan mendatang? Bagaimana mempromosikan Islam Nusantara? Siapa saja yang mendukung, sekaligus yang menolaknya? Apa tantangan-tantangan Islam Nusantara di masa datang?
Sumber : Islam Kita Islam Nusantara
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow