|
Jangan dikira tulisan ringan ini sebagai wujud kebencian, justru sebaliknya ini adalah bentuk kepedulian. Kritik itu laksana obat, rasanya pahit, namun menyehatkan bagi tubuh yang sakit. Sementara pujian itu ibarat gula, rasanya manis, tapi bila kebanyakan malah jadi penyakit. Persoalannya kebanyakan pejabat ternyata lebih suka dijilati dan anti-kritik.
Tabiat ini sungguh tidak boleh ada pada diri pejabat publik, termasuk dalam diri bupati. Andai kuping tipis, emosi mudah tersulut, pengendalian diri rendah, lebih baik sedari awal tidak usah berkecimpung di dunia politik. Apalagi ditambah dengan mentalitas gaya orba, elitis, inginnya dilayani, bukan melayani. Seolah, walaupun semangat zaman (zeitgeist ) telah berganti, toh pola pikir dan pola sikap tak kunjung berubah.
Baca juga: Di Pessel, Masyarakat Antar Jenazah Ke Pemakaman dengan Melawan Arus Sungai
Salah satu aspek yang serius ditilik oleh para pemerhati politik yaitu aspek leadership (kepemimpinan) yang terbaca melalui gesture (bahasa tubuh). Maka dalam hal ini sulit rasanya untuk mendustai gaya kepemimpinan bupati petahana dilihat dari gaya bahasa tubuhnya. Terlepas pihak pendukung atau yang pro-bupati akan mengelak atau berkilah.
Hal itu sudah menjadi rahasia umum, sebab secara gamblang terlihat dari beberapa video singkat bupati petahana yang sempat viral. Terus terang itu bisa dibilang aib, bahkan penulis pun ikut diolok-olok oleh rekan sejawat, “tuh bupatimu, kok kayak gitu sih?”.
Baca juga: Pessel Peringkat 2 Penyumbang Jumlah Pengangguran Terbanyak di Sumbar
Dalam gaya komunikasi, bupati juga masih jauh dari kesan ramah. Lebih terlihat seperti atasan atau bos yang menyuruh-nyuruh bawahan atau anak buahnya, dibalut dalam aksen dialek Minang yang kentara. Sehingga rakyat menurut lantaran takut, bukan karena segan akan kharisma, aura kepemimpinan bupati. Implikasinya ialah sikap Asal Bapak Senang (ABS) dari bawahan. Bagaimana mungkin teknik komunikasi seperti ini akan bisa menggugah jiwa sekaligus memberikan energi positif bagi rakyat? Kadang penulis lihat bupati petahana juga berupaya eksis di medsos, biar tampak lebih gaul dan milenial. Tapi casing kolonial sukar ditutup-tutupi. Aki tu bana nan lah suak.
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah rakyat pessel kecolongan? Kita tentu tidak boleh tergesa-gesa serampangan untuk menyimpulkan. Salah satu argumentasi yang bisa penulis kemukakan yakni bupati petahana belum bisa lepas dari latarbelakangnya. Sebut saja semacam varian dari post power syndrome dalam konteks ilmu manajemen organisasi.
Baca juga: Merosotnya Kunjungan Wisatawan Nusantara, Ini Tanggapan Kadis Pariwisata Pemuda dan Olahraga Pessel
Post power syndrome adalah suatu sindrom yang kerap menjangkiti orang-orang yang pernah menduduki posisi tertentu, kemudian meski telah tidak lagi berada di posisi tersebut, namun masih merasa atau terbawa-terbawa pada posisi lama nya. Penulis pakai istilah varian, lantaran dalam tinjauan asli manajemen organisasi sindrom ini sering dicontohkan seorang mantan pimpinan/atasan yang masih suka ikut campur dalam urusan yang secara wewenang dia tidak berhak lagi. Padahal sudah ada pimpinan/atasan baru pada posisi tersebut.
Tidak ada yang salah dengan latarbelakang profesi sebagai polisi, petani, pengusaha. Yang salah manakala hal itu masih terbawa-bawa saat yang bersangkutan sudah berada pada posisi berbeda, dalam konteks ini sudah menjadi bupati. Sehingga dia bertindak masih memakai frame keamanan, untung-rugi ala pengusaha, pragmatis ala politisi, dan lain-lain.
Baca juga: Baliho Sejumlah Bakal Calon Kepala Daerah di Pessel ” Tumbang”
Akibatnya sebagaimana yang rakyat pessel alami belakang ini. Punya bupati tapi rasa polisi. Ada warga yang nyinyir langsung dilaporkan. Kritik warga kadang berujung pada jalur hukum. Mencari-cari kesalahan pihak lain yang dicurigai. Tindak-tanduk seperti itu jelas jauh dari ideal seorang bupati.
Sebaliknya, secara fair dalam kacamata leadership dan politik, penulis apresiasi tindakan wabup petahana, berani hadir dan berfoto dengan pendemo yang ramai membawa spanduk penolakan atas dirinya saat salah satu sesi sidang di Padang. Entah mereka kenal atau tidak siapa yang mereka demo. Ini mirip dengan yang dilakukan ganjar, gubernur petahana jawa tengah, mengajak berfoto dengan senyum lebar, waktu sekelompok pemuda memakai kaos bersablon “ganti gubernur” di pilkada lalu.
Sebagai putera pasisie yang lahir dan besar di Painan, penulis merasakan serta dapat mengomparasikan kualitas kepemimpinan para bupati, sejak masa Ismil Ismael Lengah, Masdar Saisa, Darisal Basir, Nasrul Abit, dengan bupati petana. Manusiawi bila setiap persona pasti punya plus-minus. Akan tetapi, menurut penulis kualitas bupati sekarang merupakan paling rendah. Kita tidak menyidik niat baik orang, semua pasti punya niat baik, politik menilai tindakan, kebijakan, berikut dampaknya pada peningkatan sejahteraan masyarakat.
Hati yang lapang, jiwa yang bersih, baru prasyarat dasar bagi seorang pemimpin. Memilikinya tidak serta merta membuat seseorang layak jadi bupati. Hal berikutnya yaitu, rakyat harus menakar sedalam apa wawasannya, sejernih apa visi-nya. Contoh sederhana, para kandidat punya visi apa memberdayakan 234 km garis pantai pessel itu? Jika disepadankan, itu sebanding dengan bentangan garis pantai dari Jakarta ke Cirebon! Melintasi Propinsi Jakarta, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Cirebon. Berapa KK atau berapa juta jiwa yang dapat hidup dinafkahi dari laut tersebut? Bandingkan dengan Kab. Pessel? Sudah terlalu lama para bupati membelakangi laut.
Persoalan lainnya, misal lapangan kerja, mau sampai kapan ASN seolah jadi pilihan pertama-utama bagi putera-puteri pessel? Seakan ASN telah jadi suatu strata sosial tinggi. Sebab, meskipun putra-putri pessel yang pintar-pintar banyak jumlahnya, bila sudah pulang ke kampung mereka akan terbentur dengan differensiasi kerja yang rendah. Belum lagi perihal efisiensi birokrasi, komitmen memajukan agama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sudah tidak waktunya visi-misi sebatas formalitas, minim terobosan, miskin inovasi. Iklim persaingan seperti ini rawan bersifat primordialistik. Sikap pendukung juga jauh dari sifat adil, masa bodoh benar-salah akan kami dukung, benar-salah dusanak ambo, urang kampuang ambo.
Rasulullah mencela sikap ashobiyah (fanatisme golongan) seperti itu. “Laisa minna man da’a ila ashobiyah (bukan golonganku barangsiapa yang menyeru pada ashobiyah) Mutafaq ‘alaih”
Mudah-mudahan dengan begini pihak terdekat insaf dan menjadi pihak terdepan menasihati bilamana melihat ada kekhilafan yang di lakukan oleh kandidatnya masing-masing. Semoga. Wallahu’alam.
Andre Husnari, Peneliti di Cendekia Politika Institut. Alumnus FISIP Universitas Padjadjaran.