|
Ilustrasi : bandasapuluah |
Seorang pemimpin dengan gagahnya berjalan tegap penuh rasa percaya diri. Dibelakangnya ribuan orang berjalan berjejer mengikuti sambil berdecak kagum. “Hebat, memang luar biasa pemimpin kita ini”, ujar salah satu dari mereka. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari samping tanpa terlihat siapa orangnya, “Hei, kalian salah jalan, itu jalan buntu!”.
Seketika itu juga langkah si pemimpin dan para pengikutnya terhenti sejenak. Para pengikut riuh rendah saling berbisik, “Apa iya kita salah? Toh pemimpin kita melangkah tanpa ragu?!”. Si pemimpin juga bergumam dalam hati, “Tidak mungkin saya salah. Kalau salah mengapa sebanyak ini orang yang mengikuti. Andaipun sial saya memang salah, saya tidak sendirian!”.
Cerita diatas sering dipakai sebagai contoh kasus dalam pelatihan manajemen, guna menjelaskan fenomena relasi antara leader-follower. Realitanya dalam praktik kepemimpinan sehari-hari hal demikian sangat memungkinkan kita hadapi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemimpin dan pendukung mengenali “titik buta” kepemimpinan.
Beberapa waktu silam penulis kebetulan mengikuti pelatihan manajemen yang diselenggarakan Dale Carnegie Indonesia. Blind Spot (titik buta) merujuk kepada suatu titik atau area yang tidak bisa kita lihat dengan jelas, bahkan tidak terlihat sama sekali dalam sudut penglihatan kita. Studi bidang manajemen baru-baru ini juga menunjukkan bahwa Pemimpin dan Tim Kepemimpinan juga memiliki titik-titik buta.
Analogi yang cukup memadai untuk menyederhanakan perihal ini misalnya, dalam konteks individu: kita membutuhkan cermin untuk melihat sisi belakang tubuh. Sekedar melihat telinga yang cuma berjarak sejengkal saja dari mata, mata tidak bisa. Dalam konteks kerjasama tim, dapat dicontohkan dengan lomba perahu naga. Ada yang bertugas mendayung, memegang kemudi haluan, dan penabuh genderang yang duduk menghadap pendayung, membelakangi muka perahu. Si penabuh bertugas memimpin rekan-rekannya, mengatur tempo, kapan harus santai kapan harus dipacu, harus berhasil mencapai garis finis. Bukan finis asal finis, bisa tidak dia berlomba dengan tim lain minimal masuk tiga besar?
Masalah muncul ketika pemimpin dan orang lingkaran kekuasaannya percaya mereka telah berbuat benar, tapi rakyat banyak (termasuk yang tidak berani bersuara) mengatakan tidak. Berikut ini 4 titik buta yang umum dijumpai dalam berbagai level kepemimpinan:
1)Kurang Memberikan Apresiasi kepada Bawahan.
2)Kesediaan Mengakui Ketika Salah.
3)Sungguh-Sungguh dalam Mendengarkan Keluhan, Masukkan, dsb.
4) Kejujuran pada Diri Sendiri dan Orang Lain.
Apa yang pemimpin bisa lakukan? Dengan menyadari adanya titik buta pada tiap individu, kita dapat meminimalisir asumsi pribadi kita dengan persepsi orang lain. Pemimpin yang sukses mengetahui sisi dirinya yang tak terlihat akan belajar mengatasi kekurangan dirinya, baru kemudian berpotensi mempengaruhi tingkat kepuasan dan kepercayaan publik.
Tips yang perlu dicoba:
Pertama, anggaplah diri kita tidak objektif saat menilai kemampuan diri sendiri. Artinya kita butuh bantuan pihak lain sebagai cermin. Kedua, siapkan diri menerima masukan dan umpan balik. Singkirkan dulu ego pribadi, ego kelompok. Ketiga, hargai niat. Ketika mendapat umpan balik bisa jadi Anda merasa tidak nyaman, tapi yakinlah itu berguna bagi Anda. Kapan perlu rangkul semua pengkritik Anda.
Kesimpulannya, kita tidak bisa sepenuhnya menghilangkan titik buta. Tetapi melalui refleksi diri yang jujur dipadukan dengan usaha yang fokus kita dapat memperbaiki kualitas kepemimpinan kita. Semoga.
Andre Husnari,
Alumnus SMPN 1 Painan