|
Jembatan Panjang Penyebrangan. Foto: Arif P. Putra |
Diterapkannya Physical Distancing adalah upaya pemerintah dalam mengurangi penyebaran wabah covid-19, hal tersebut menjadi langkah bagus guna mencegah penyebaran virus. Terlebih lagi virus covid-19 adalah virus dengan tingkat penularan sangat mudah kalau sudah berhubungan langsung dengan orang yang terjangkit.
Hal ini menjadi dilema, bukan hanya untuk pemerintah saja, masyarakat juga mengalami dilema berat dengan diterapkan Physical Distancing. Ini sangat berdampak kepada masyarakat yang telah terbiasa melakukan aktivitas kontak langsung dengan orang lain; pedagang, ojek, rumah makan, buruh dan lainnya. Meski demikian, tentu langkah penerapan Physical Distancing bukanlah langkah gagal pemerintah, walau mengalami banyak dampak signifikan secara finansial maupun mental. Tetapi penerapan tersebut patut dipatuhi masyarakat luas.
Alih-alih diterapkannya Physical Distancing, malah membuat suasana semakin rumit bin lepas kendali. Situasi yang pelik dimanfaatkan sebagian orang untuk hal-hal unfaedah; prank sampah, mengabaikan Physical Distancing dan lain sebagainya yang menimbulkan decak kesal. Semisalnya tidak dijalani apa yang diterapkan pemerintah, siapa yang akan melakukan langkah-langkah demikian untuk upaya pencegahan penyebaran? Masa ia kita harus selamatkan diri masing-masing, atau mementingkan diri sendiri dalam kehidupan.
Sedangkan kita tau bagaimana penyebaran virus tersebut terjadi, yakni dengan cara menular melalui kontak langsung. Mengurangi interaksi sosial adalah langkah masuk akal demi mengurangi penyebaran, kita hanya mengurangi interaksi sosial secara langsung. Mari kita manfaatkan teknologi yang ada, bila interaksi memang harus benar-benar dilakukan.
Ada tiga pendekatan dalam berkomunikasi antarmanusia: Pertama ialah Pendekatan empiris, pendekatan Humanistic (Humaniora Interpretatif) dan Pendekatan Social Sciences (Ilmu Sosial).
Tiga pendekatan di atas tidak pernah lepas dari manusia, sebagaimana yang diketahui manusia adalah makhluk hidup yang memiliki sisi ketergantungan satu sama lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup bila tidak ada manusia lainnya, itu sebabnya setiap manusia diharuskan melakukan hubungan interaksi antarmanusia. Nah, sosial adalah salah satu cara yang kerap dilakukan manusia untuk berinteraksi.
Pada masa Pandemi ini, sosial tersebut sedang dibatasi (bukan dilarang), dalam artian, bila manusia biasanya berinteraksi menggunakan mulut dengan jarak dekat, sekarang dibatasi jarak satu meter atau lewat telepon genggam saja (lebih aman). Bila biasanya diadakan pertemuan di sebuah ruangan, sekarang bisa lewat aplikasi. Salaman dan ekspresi interaksi biasanya mungkin bisa pakai emoticon dulu, Physical Distancing bukan semata dibuat untuk memperkeruh suasana, melainkan menjaga situasi ini segera pulih dan berakhir.
Ini adalah bulan ramadan paling puitis selama hidup. Sebelum diterapkan PSBB di kota Padang, saya memutuskan untuk pulang kampung ke Pesisir Selatan. Dan itu menjadi keputusan tepat, setelah beberapa hari sesampai di rumah saya mendapat kabar PSBB diperketat, begitu juga dengan Physical Distancing. Pulang ke Pesisir Selatan adalah pulang yang penuh dengan hingarbingar, riuh suara daun dalam rimba, suara lengang yang ribut dari dada, “gila, Pesisir Selatan sedang baik-baik saja rupanya.”
Fenomena ini menjadi sangat puitis sekali, setelah meninggalkan kota Painan. Batang Kapas sampai Kambang seperti dalam keadaan baik-baik saja, tidak terlihat secara drastis suasana Physical Distancing atau baru-baru ini PSBB. Pasar yang ramai, gelak tawa bapak-bapak mengadu ayam, suara para pemuda ngumpul di pos ronda, jembatan dan perayaan kelulusan SMA. Sungguh debar yang puitis.
Tapi yang paling menarik adalah di Sutera, Surantih, satu-satunya daerah dengan tingkat keramaian yang terbilang stabil (seperti ramadan biasanya). Saya yakin pemerintah setempat sudah menjalankan prosedur sesuai arahan pemerintah pusat, tapi bagaimana lagi, masyarakat sudah terlanjur masa bodoh dengan himbauan pemerintah. Ditambah lagi akibat kekesalan masyarakat yang merasa dirugikan, namun tidak mendapatkan bantuan apa-apa.
Dari Surantih saya belajar bagaimana puitisnya hidup, selain Tuhan, tidak ada lagi yang mampu merenggut nyawa mereka. Corona, cinta dan segala kepelikan hanyalah fana belaka, peraturan dibuat untuk dilanggar. Jalan-jalan sore dan berkumpul ria harus tetap dilaksanakan sesuai kebutuhan diri masing-masing, sehingga keramaian memang sangat dibutuhkan.
Berikut tempat-tempat ramai di kecamatan Sutera selama bulan ramadan, setelah diterapkan Physical Distancing, setelah dijalankan PSBB: Pantai Buayo Putih, Jembatan Panjang Penyebrangan, Pasar Surantih, dan tepian-tepian pantai lainnya.
Pilihan Editor Banda Sapuluah