Parang pisang adalah sebuah tradisi yang dilakukan atas lahirnya sepasang bayi kembar, yang berbeda jenis kelamin atau biasa disebut “anak sumbang”.
Parang Pisang ini merupakan budaya khas yang dimiliki oleh masyarakat Surantih, Kec. Sutera , Kab. Pesisir Selatan.
Upacara ini dilaksanakan setelah adanya kesepakatan antara keluarga dari pihak bapak si “anak sumbang” dengan keluarga dari pihak ibu si “anak sumbang”. Apabila keluarga ibu bayi menolak salah satu anak mereka dibesarkan secara terpisah oleh keluarga ayah atau disebut dengan induak bako maka parang pisang akan dilaksanakan.
Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak menyediakan pisang yang telah direbus untuk dijadikan amunisi. Perperangan ini tidak ubahnya seperti perang sungguhan, hanya saja dalam berperang kedua belah pihak menggunakan pisang sebagai senjata.
Seperti di medan perang, dalam perperangan ini, kedua belah pihak mengerahkan semua pasukan yang dimilikinya, termasuk anak-anak.
Berdasarkan buku “Alam Sati Nagari Surantih ( Asal Usul, adat istiadat dan Monografi Nagari Surantih)” karya Almasri Syamsi dan Riri Fahlen, dituliskan, bahwa pihak “Bako” si bayi bersama-sama karib kerabat yang diiringi oleh kesenian “sarunai” dan “Talempong” beserta tarian “simuntu” akan datang kerumah kaum dari si ibu “anak sumbang” dengan membawa antaran yang beragam.
Simuntu sendiri merupakan orang bertopeng dengan pakaian daun pisang yang berfungsi sebagai panglima perang dan kedua belah pihak harus memiliki satu/dua simuntu.
Ketika rombongan sampai di halaman kediaman keluarga ibu si anak, maka kedua belah pihak melantunkan kata bersambut dan adat basa-basi untuk menentukan pilihan anak yang akan diambil oleh pihak bakonya. Dalam tawar menawar itu terjadilah perselihan karena masing-masing pihak tetap dengan pilihannya. Karena tidak terjadinya kata sepakat, maka di bawah komando simuntu terjadilah parang pisang antara kedua kubu. Perang ini dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan kaum laki-laki hanya boleh menyaksikan saja.
Setelah dilakukan parang pisang beberapa saat, kemudian kedua belah pihak berunding lagi untuk menentukan anak yang mana yang akan dibawa oleh “induak bakonya”.
Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memisahkan bathin secara lahir si kembar agar kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan jiwa kedua anak tersebut dalam hukum adat dan syarak. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa anak yang lahir kembar sepasang (Sumbang) satu laki-laki dan satu perempuan dianggap telah kawin secara bathin meskipun berasal dari satu darah keturunan. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran adat dan syarak di kemudian hari oleh anak sumbang tersebut maka diadakanlah parang pisang untuk memeranginya supaya bathin keduanya lepas dan lupa akan perkawinan bathin itu.
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow