Parang Pisang, Budaya Khas Masyarakat Surantih

Senin, 27 Januari 2020 - 07:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

bandasapuluah-parang-pisang

bandasapuluah-parang-pisang

Parang pisang adalah sebuah tradisi yang dilakukan atas lahirnya sepasang bayi kembar, yang  berbeda jenis kelamin atau biasa disebut “anak sumbang”. 

Parang Pisang ini merupakan budaya khas yang dimiliki oleh masyarakat Surantih, Kec. Sutera , Kab. Pesisir Selatan.

Upacara ini dilaksanakan setelah adanya kesepakatan antara  keluarga dari pihak bapak si “anak sumbang”  dengan  keluarga dari pihak ibu si “anak sumbang”. Apabila keluarga ibu bayi menolak salah satu anak mereka dibesarkan secara terpisah oleh keluarga ayah atau disebut dengan induak bako maka parang pisang akan dilaksanakan.

Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak menyediakan pisang yang telah direbus untuk dijadikan amunisi. Perperangan ini tidak ubahnya seperti perang sungguhan, hanya saja dalam berperang kedua belah pihak menggunakan pisang sebagai senjata.

Seperti di medan perang, dalam perperangan ini, kedua belah pihak  mengerahkan semua pasukan yang dimilikinya, termasuk anak-anak. 

Berdasarkan buku “Alam Sati Nagari Surantih ( Asal Usul, adat istiadat dan Monografi Nagari Surantih)” karya Almasri Syamsi dan Riri Fahlen, dituliskan, bahwa pihak “Bako” si bayi bersama-sama karib kerabat yang diiringi oleh kesenian “sarunai” dan “Talempong” beserta tarian “simuntu”  akan datang kerumah kaum dari si ibu “anak sumbang” dengan membawa antaran yang beragam. 

Simuntu sendiri merupakan orang bertopeng dengan pakaian daun pisang yang berfungsi sebagai panglima perang dan kedua belah pihak harus memiliki satu/dua simuntu.

Ketika rombongan sampai di halaman kediaman keluarga ibu si anak, maka kedua belah pihak melantunkan kata bersambut dan adat basa-basi untuk menentukan pilihan anak yang akan diambil oleh pihak bakonya. Dalam tawar menawar itu terjadilah perselihan karena masing-masing pihak tetap dengan pilihannya. Karena tidak terjadinya kata sepakat, maka di bawah komando simuntu terjadilah parang pisang antara kedua kubu. Perang ini dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan kaum laki-laki hanya boleh menyaksikan saja.

Setelah dilakukan parang pisang beberapa saat, kemudian kedua belah pihak berunding lagi untuk menentukan anak yang mana yang akan dibawa oleh “induak bakonya”. 

Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memisahkan bathin secara lahir si kembar agar kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan jiwa kedua anak tersebut dalam hukum adat dan syarak. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa anak yang lahir kembar sepasang (Sumbang) satu laki-laki dan satu perempuan dianggap telah kawin secara bathin meskipun berasal dari satu darah keturunan. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran adat dan syarak di kemudian hari oleh anak sumbang tersebut maka diadakanlah parang pisang untuk memeranginya supaya bathin keduanya lepas dan lupa akan perkawinan bathin itu.
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Efektivitas PPKM Mikro di Kelurahan Perlu Ditingkatkan
Adat Istiadat Perkawinan di Pesisir Selatan
Kenapa Kawin Sasuku Dilarang di Minangkabau?
Pirin Asmara dan Anugerah Kebudayaan
Pelangi, Nomenklatur Nama Nagari Pelangai
Kacaunya Organisasi Adat di Minangkabau Karena Politikus
Bolehkah Harato Pusako Tinggi Dimiliki dan Dijual oleh Laki-laki Bila Suatu Kaum Tidak Ada Lagi Perempuan?
Rumah Percetakan Oeang RI : Ditinggalkan atau Meninggalkan

Berita Terkait

Senin, 3 Mei 2021 - 14:22 WIB

Efektivitas PPKM Mikro di Kelurahan Perlu Ditingkatkan

Sabtu, 13 Maret 2021 - 01:49 WIB

Adat Istiadat Perkawinan di Pesisir Selatan

Sabtu, 9 Januari 2021 - 13:51 WIB

Kenapa Kawin Sasuku Dilarang di Minangkabau?

Sabtu, 12 Desember 2020 - 11:32 WIB

Pirin Asmara dan Anugerah Kebudayaan

Sabtu, 5 September 2020 - 17:10 WIB

Pelangi, Nomenklatur Nama Nagari Pelangai

Berita Terbaru