Bila melihat sejarah Indonesia terutama tentang asal usul, sebagai etnis Minangkabau tentu kita heran dan bertanya bagaimana bisa kita menganut sistem Matrilineal. Bahkan nenek moyang kita saja tidak menganut sistem yang demikian.
Dari sejarah Indonesia, Dituliskan bahwa nenek moyang kita berasal dari daerah Yunan, China atau wilayah selatan China. Yang berlayar mengarungi lautan dan pada akhirnya berlabuh jua di Indonesia. Diketahui nenek moyang kita itu menganut sistem patrilineal. Lebih dekat lagi, apabila bersumber kepada Tambo yang ada di Minangkabau, dikatakan bahwa kita berasal dari keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain. Sultan ini juga diketahui penganut sistem Patrilineal.
Melihat ke masa kerajaan , Minangkabau merupakan tanah kerajaan yang beragama Hindu dan juga Budha. Kerajaan Dharmasraya, Sriwijaya dsb. Orang Minangkabau tempo dulu selain beragama Hindu dan juga Budha juga penganut animisme. Baik Hindu, Budha , dan Animisme tidak mengenal yang namanya Matrilineal.
Bila memikirkan kejadian yang demikian, tentu disanalah datangnya ucapan “luar biasa dan ajaib”. Upaya Nenek Moyang kita dalam merubah dari sistem Patrilineal menjadi Matrilineal tersebut bukanlah hal uang muda, seperti diketahui merubah budaya dan keyakinan yang telah mendarah daging itu sulitnya minta ampun apalagi itu menyangkut keyakinan orang banyak dalam hal Agama. Pekerjaan ini, kalau diungkapkan dalam lagu Iwan Fals adalah Pekerjaan manusia setengah dewa, sebab peralihan ini adalah proses peradaban yang amat luar biasa.
Keajaiban ini terletak pada perubahan hak mutlak laki-laki yang selama ini dikenal sebagai penguasa harta harus beralih ke tangan perempuan. Sedari zaman dulu laki-laki berada di posisi Superioritas dan disaat itu wanita berada pada posisi inferior. Kerelaan yang luar biasa.
Oleh karena kerelaan yang luar biasa itu, suatu hal yang barangkali perlu dicatat adalah bahwa nenek moyang etnik Minangkabau ini adalah pionir peradaban yang paling berjasa mengangkat harkat dan martabat kaum wanita di muka bumi ini.
Konsep penyelamatan wanitanya, malah lebih komprehensif, karena dimulai dari perlindungan ekonomi kaum wanita melalui aturan adat pewarisan harta pusaka. Hak waris untuk kaum wanita memposisikan wanita lebih kuat secara ekonomi. Kuat secara ekonomi, membuat wanita tak mudah terjerembab kepada tragedi menjual diri. Bahkan, peran wanita makin diperhebat di era kerajaan Pagaruyung, dimana Bundo Kandung diposisikan sebagai pemegang peran sentral, sebagai limpapeh Rumah Nan Gadang. Bundo Kandung juga memiliki hak politik dalam pemerintahan di kerajaan Pagaruyuang.
Jadi, roh budaya matrilini Minangkabau itu adalah perlindungan wanita yang bersandi kepada penguasaan hak ekonomi utama “era saisuak” (land as social capital) oleh perempuan, yang diatur dalam konsep pewarisan pusaka dan rumah gadang.
Matrilineal, sebagai konsep teragung dalam peradaban manusia merupakan restrukturisasi tatanan rumah tangga sakinah-mawadah-nya Adam dan Hawa di surga, dimana saling menyayangi, menghormati, dan melindungi dirawat bersama, tanpa mengenal posisi superioritas dan inferioritas antara laki-laki dan perempuan. Sebuah restrukturisasi spektakular azas berumah tangga yang sudah tercabik dan terkoyak oleh superioritas kaum laki-laki di era purba dan gelapnya peradaban.
Tapi melihat kembali melihat kepada sejarah, kita tidak memiliki catatan sejarah yang menyebutkan siapa yang menggagas dan memulai sistem material ini. Andaikan dimulai dari Pusat budaya, sspet di zaman Dt. Sri Maharajo Dirajo di Pariangan, Padang Panjang ataupun di era kerajaan Pagaruyuang di Tanjuang Bungo, Tanah Datar, maka akan menimbulkan sebuah pertanyaan, siapa yang menyebarkannya? Lalu kenapa bisa orang yang berada di darek dan pesisir, Luhak nan tuo dan rantau, bisa menganutnya dan akhirnya menjadi orang Minang.
Diolah dari berbagai Sumber
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow