Kapal Karam di Ampiang Parak, Peninggalan Portugis atau Belanda?

Redaksi
2 Agu 2020 09:35
Kebudayaan 0 22
5 menit membaca
Seorang pengunjung tengah berfoto di bangkai kapal di Ampiang Parak. Terlihat tiang kapal telah berkarat. Foto:  Arif P Putra


Sumatera merupakan sebuah pulau yang sudah termasyhur sebagai negeri penghasil emas yang melimpah. Terhitung sejak permulaan abad masehi, Sumatera sudah dikenal dengan nama Suvarnnabhumi (Negeri Emas) atau Suvarnnadwipa (Pulau Emas). 

Selain emas, Pulau Sumatera juga dikenal sebagai penghasil lada yang berkualitas. Menurut Kroeskamp, seorang ahli sejarah dan tokoh pendidikan mengatakan penduduk pantai barat Sumatera pada abad ke-16 hingga ke-18 sudah membudidayakan tanaman lada. Terlebih untuk daerah Inderapura, Kabupaten Pesisir Selatan kualitas lada di daerah ini tergolong baik dan sangat baik.

Hal itu menjadikan Pulau Sumatera, terutama di pantai barat Sumatera menjadi kota‐kota pantai dan bandar yang menjadi pusat perdagangan lada dan emas. Dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan yang terkenal dan penting di masa lampau, menjadikan Sumatera ramai dikunjungi oleh bangsa asing.

Meskipun ramai dikunjungi oleh bangsa asing untuk berdagang, untuk mencapai Pulau Sumatera ternyata tidaklah mudah. Ada banyak bahaya yang mengancam untuk sampai ke pulau yang terletak di sebelah timur Teluk Benggala tersebut.

Kitab Jataka menggambarkan betapa sulitnya untuk sampai ke negeri yang bernama Suvarnnabhumi itu. Kitab Jataka, yang memuat kisah‐kisah tentang kehidupan Sang Budha tersebut, menyebutkan untuk sampai ke pulau Sumatera, harus melakukan perjalanan yang penuh bahaya untuk mencapainya.

Sehingga tak heran, disepanjang tepi pantai barat Sumatera didapati banyak bangkai kapal yang tenggelam. Termasuk di Pesisir Selatan yang terkenal dengan banyak kota pelabuhan tradisional di tepi barat Sumatera atau dikenal dengan Bandar Sepuluh. Salah satunya adalah sebuah bangkai kapal tenggelam (shipwreck) yang temui di Nagari Ampiang Parak, Kecamatan Sutera.

Tiang kapal bangkai kapal yang karam



Bangkai kapal tersebut sudah ditutupi oleh endapan pasir pantai yang cukup tebal hingga menutupi badan kapal.
Sehingga bagian kapal yang masih dapat diamati adalah empat bagian tiang kapal yang terbuat dari besi yang berbentuk bulat. Kondisi lingkungan perairan di sekitar situs yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, dimana gelombangnya cukup besar terutama pada Musim Timur dan sendimentasi yang tinggi diduga menjadi penyebab berubahnya lingkungan fisik situs.

Bangkai kapal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Antara kapal Portugis atau kapal dagang Belanda. Mengingat belum ada penelitian secara khusus yang menjelaskan secara konkrit dari mana kapal itu berasal.

Buku “Identifikasi dan Inventarisasi Sumber Daya Arkeologi Laut di Pesisir Selatan Sumatera Barat” menjelaskan kapal tersebut merupakan kapal dagang Belanda. Kapal tersebut karam sebelum tahun 1945. Selain di Ampiang Parak, terdapat juga kapal karam di Perairan teluk Mandeh, yakni kapal MV Boelongan. Keduanya sama-sama karam sebelum tahun 1945.

Alasan kapal ini diklaim sebagai kapal Belanda adalah dari penuturan seorang warga setempat. Dimana keadaan kapal tersebut yang tertutup oleh endapan pasir pantai yang demikian sudah terjadi sejak beliau masih kecil. Ditambah lagi material untuk tiang kapal yang berbahan besi clan menambah kuat indikasi bahwa kapal tersebut merupakan kapal zaman kolonial.

Akan tetapi, buku tersebut belum memastikan kebenaran kapal tersebut merupakan kapal Belanda. Terlebih buku tersebut merupakan hasil riset identifikasi awal. Sehingga tak heran, buku tersebut menyarankan agar dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk membuktikan kebenaranya.  

Dikatakan, situs yang terletak pada koordinat 01°38’16.5”LS dan 100°39’48”BT tersebut karam akibat dihantam oleh gelombang laut yang cukup besar. Bahkan, dahulunya kapal tersebut berada cukup jauh dari garis pantai (lebih kurang 1,5 km dari garis pantai lama).

Selain perubahan garis pantai yang menjadi bukti fisik terjadinya perubahan lingkungan fisik di situs tersebut juga terdapat danau tepat dibelakang pantai Ampiang Parak saat ini. 

Perubahan garis pantai menjadi salah satu potensi ilmu pengetahuan yang tersimpan pada situs. Untuk mengetahui lebih jauh tentang matra formal (bentuk, ukuran) dan jenis
kapal tersebut tentunya penggalian arkeologis sangat penting untuk dilakukan.

Buku ini juga mengharapkan adanya kelanjutan dari riset ini, sumberdaya arkeologi laut yang telah ditemukan, mengingat data dalam riset hanya merupakan hasil riset identifikasi awal, sedangkan untuk pemanfaatan dari potensinya perlu dilakukan riset yang lebih detil. Termasuk melakukan penggalian dan penggunaan teknik ekskavasi.

Jika terdapat rencana ekskavasi terhadap bangkai kapal karam di Ampiang Parak, perlu dilakukan studi kelayakan (feasibility study) karena terkait dengan kondisi perairan yang dinamis, namun akan menuntut biaya besar. Semoga saja ada perhatian lebih oleh para stakeholder.

Selain itu, Buletin Amoghapasa Edisi 13/Tahun XV/ Juni 2009 juga mengatakan kapal tersebut merupakan kapal Belanda. Kapal tersebut karam sebelum perang dunia II. Kisaran tahun 1930-an.

Penyebabn kapal ini kandas di Muaro Ampiang Parak adalah akibat pasang surut sewaktu kapal tersebut masuk menuju sungai untuk membongkar besi jembatan.

Mustafa Kamal Dt. Bandaro Panjang, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Ampiang Parak membenarkan kapal tersebut kandas akibat pasang surut air laut. Akan tetapi Mustafa mengatakan kapal tersebut merupakan kapal Portugis. Bukan kapal Belanda sebagaimana yang disebutkan oleh Buletin Amoghapasa. 

Kapal tersebut datang disaat Agresi Militer Belanda II. Disaat republik telah mengumandangkan kemerdekaannya. Portugis bersama sekutu datang pada tahun 1949. Tujuannya adalah hendak membuat jembatan di daerah tersebut.

Ia juga menerangkan awalnya tiang kapal tersebut berjumlah lima buah. Akan tetapi saat ini, hanya tinggal empat tiang saja.

Sementara itu, seorang tokoh adat di Ampiang Parak juga mengatakan kapal tersebut merupakan kapal Portugis. Hal itu didasari oleh bentuk tiang Kapal tersebut. Tiang kapal yang berbentuk bulat adalah ciri-ciri dari kapal Portugis.

Tapi mengenai kapal tersebut karam, dikatakan kapal tersebut telah tenggelam lebih dari 200 tahun yang lalu. Seingatnya, kapal tersebut telah ada disaat raja Melayu dari Puluik-puluik pertama kali datang ke Ampiang Parak.

Hal itu terasa wajar. Mengingat perairan di daerah ini dulunya pernah menjadi tempat lalu lintas pelayaran dan perdagangan di masa lampau. Menyebabkan banyak bangsa asing yang ramai berkunjung. Tak menutup kemungkinan Portugis.

Akan tetapi, belum ada sebuah penelitian khusus yang menjelaskan secara signifikan bangkai kapal tersebut berasal dari mana; Portugis atau Belanda. Untuk mendapatkan bukti konkret, bangkai kapal tersebut memang harus dibongkar dan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang berapa umur bangkai kapal, dan material yang dipakai. Dari penelitian tersebut akan bisa ditarik hasil yang lebih konkret tentang bangkai kapal.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *