Meski tampak seperti kericuhan, ternyata aksi tersebut adalah bagian dari pertunjukan budaya yang memang sengaja ditampilkan.
Tradisi unik ini dikenal sebagai Parang Pisang, sebuah upacara adat khas masyarakat Pesisir Selatan, khususnya di wilayah yang dikenal dengan Banda Sapuluah.
Tradisi ini memiliki makna mendalam, yaitu sebagai bentuk upacara adat untuk “melepaskan bathin” anak sumbang — sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin yang dalam adat dianggap telah “menikah bathin“.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pelaksanaan aslinya, Parang Pisang dilakukan oleh dua keluarga, yakni pihak bako (keluarga ayah) dan kaum ibu dari anak sumbang tersebut.
Mereka berperang dengan mengunakan pisang sebagai senjata. Upacara ini dilaksanakan setelah kesepakatan antara pihak bako dengan kaum dari ibu si anak sumbang.
Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak menyediakan pisang yang telah direbus untuk dijadikan amunisi perang.
Pihak bako bersama-sama karib kerabat yang telah diucok akan datang ke rumah kaum dari ibu si anak dengan membawa antaran yang beragam.
Demikian juga dari kaum dari ibu si anak sumbang menunggu kedatangan bako si anak. Kedatangan rombongan bako biasanya diiringi dengan kesenian sarunai dan talempong beserta tarian Simuntu.
Kedua belah pihak memiliki satu/dua Simuntu yang merupakan orang bertopeng dengan pakaian daun pisang yang berfungsi sebagai panglima perang.
Dalam tawar-menawar itu terjadilah perselisihan karena masing-masing pihak tetap dengan pilihannya.
Karena tidak terjadinya kata sepakat, maka di bawah komando Simuntu terjadilah parang pisang antara kedua kubu.
Mengutip dari buku Alam Sati Nagari Surantih (2007), perang ini dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan kaum laki-laki hanya boleh menyaksikan saja.
Setelah dilakukan parang pisang beberapa saat, kemudian kedua belah pihak berunding lagi untuk menentukan anak yang mana yang akan dibawa oleh “induak bakonya”.
Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memisahkan bathin secara lahir si kembar agar kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan jiwa kedua anak tersebut dalam hukum adat dan syarak.
Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa anak yang lahir kembar sepasang (sumbang), satu laki-laki dan satu perempuan, dianggap telah kawin secara bathin meskipun berasal dari satu darah keturunan.
Untuk menghindari terjadinya pelanggaran adat dan syarak di kemudian hari oleh anak sumbang tersebut maka diadakanlah parang pisang untuk memeranginya supaya bathin keduanya lepas dan lupa akan “perkawinan bathin” itu.
Halaman : 1 2