“Untuk membangun candi yang ada di Kampar, orang-orang pada masa itu mengangkut batunya dari Maek. Kalau tidak di sana, ke mana pula mereka dapat batu sebegitu bagus dan banyak.” Ucap Pak Kidir sambil meapikan duduknya.
Pagi yang nyalang, ketika angkot sudah selesai berebut penumpang, kami berkumpul hendak melakukan perjalanan ke Muaro Paiti, Kabupaten 50 Kota. Ini adalah kali pertamaku melakukan perjalanan jauh menggunakan mobil. Kulihat lewat gogle maps, jarak tempuh sekitar 6 jam 9 menit (218 km). Dua kali lipat jauhnya ke kampungku di Pesisir Selatan. Sejak awal tujuan kami ke Muaro Paiti adalah pergi mengisi sebuah acara di salah satu Sekolah Menengah Atas Kapur XI.
Di perjalanan, aku coba mengumpulkan tempat-tempat yang agaknya dapat dikunjungi setelah selesai acara di sekolah itu. Urutan pertama tentu saja Candi Muara Takus jika melihat lokasi terdekat dari Muaro Paiti. Di tambah lagi lokasi ini cukup dikenal sebagau kawasan cagar budaya. Ini kali serba pertama dalam hidupku; ke pangkal Sumatra Barat, Situs Candi, menggunakan transportasi air (3 jam) dan melihat lanskap bebukitan padat. Tapi itu masih dalam angan-angan ketika seorang teman menceritakan berbagai perjalanan yang dapat kita coba nantinya.
Jalan-jalan yang berukuran dua kali lompatan orang dewasa membuatku sesak, seakan-akan jika hari malang bukit rurut dan menghamtam apa saja yang ada di jalan, kemudian hanyut bersama derasnya sungai. Dari Kayu Tanam menuju Padangpanjang seolah jalan begitu kikir, jika sudah berselisih dengan Fuso, tak dapat digas ini mobil. Dengan keadaan setengah pusing, aku pura-pura terjaga untuk mendengarkan berbagai narasi dari kawan. Kami berangkat bertiga. Tentu saja aku di bangku belakang sendiri untuk mengantisipasi sopir ngantuk.
Udara begitu dingin sebelum kami menyusuri jalan Padangpanjang. Ini kota dingin yang disebut-sebut itu, kampung tua orang-orang Minangkabau pada masa dulu. Tapi masih saja dengan ukuran jalan yang sempit. Bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh, sebagian hanya reyot sedikit saja. Teruskan saja, kataku. Kami hendak berhenti awalnya, tapi aku tidak mau berlambat-lambat, aku ingin cepat sampau ke Muaro Paiti. Tak sabar melihat-lihat apa yang sudah diceritakan kawan saat perjalanan.
Di Bukittinggi, kota kolonial itu masih saja nampak pongah dengan keramaiannya. Orang-orang hilir mudik seolah menegaskan, inilah pusat keramainan Sumatra Barat itu. Bangunan-bangunan padat, menjual berbagai kebutuhan hidup yang barangkali hidup tidak benar-benar membutuhkannya. Tempat pukul 12: 00 wib, kami akhirnya melakukan pemberhentian pertama dari Padang. Dua temanku masih melanjutkan cerita-cerita fantastik tentang peradaban “Darek” pada masa lampau, padahal zaman telah melumatnya menjadi mitologi. Bahkan nyaris jadi dongeng belaka.
Pukul 12: 30 wib kami melanjutkan perjalanan, kalau tidak diingatkan, bisa habis sebungkus rokok untuk duduk bercerita kesemuan. Kami berangkat, mobil melaju layaknya harapanku yang tidak sabar melihat sisa peradaban yang diceritakan kawan itu. Memasuki Payakumbuh. Bagian ini terputus, aku tertidur. Dua orang temanku itu tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tau besok pagi aku mengisi kelas di SMA 1 Kapur IX. Tapi pikiranku benar-benar tidak tentang itu. Ketika berhenti kembali di kawasan kelok 9, dua kawanku sedang membahas situs Maek, Negeri Seribu Menhir kata mereka. Satu temanku adalah orang asli Muaro Paiti dan satunya lagi teman satu daerah denganku, Pesisir Selatan. Satu darek satu lagi rantau. Dua kiblat yang barangkali kerap jadi pameo di kampung masing-masing. Tapi mereka berdua nampak khidmat bercerita.
Dari sanalah awal mula aku dengan seksama mendengarkan cerita mereka tentang Maek. Satu teman bercerita sesuai memori kolektif masyarakat, sedang satu lagi sibuk membentangkan isi-isi manuskrip Tambo yang ia peroleh dari seorang guru. Tapi menariknya, mereka sepakat pemberian nama Maek merujuk kepada kosa kata bahasa India: Mahat. Kisah ini berkaitan pula dengan cerita tentang penyelamatan seorang putri bernama Indra Dunia yang saat itu diserang oleh kawanan burung besar dan diselamatkan oleh empat orang bersaudara, dikenal dengan niniak nan barampek. Konon, empat saudara ini sedang melakukan perjalanan dari Muara Batang Mahat terus ke Kampar Kanan dan berlanjut ke Selat Malaka. Dalam ceritanya, mereka berempat mempunyai kesaktian masing-masing. Empat saudara itu bernama Dt. Maharajo Indo ahli memanah, Dt. Siri mempunyai mata batin yang kuat, Dt. Bandaro ahli menyelam dan Dt. Dubalai seorang yang gagah dan pemberani.
Sehingga saat penyelamatan sang Putri Mahat terkesima melihat kegagahan Dt. Dubalai merekapun bermukim di Koto Gadang, kemudian pindah ke Muaro Mahat lalu mendirikan Candi Muara Takus. Pada waktu itu, untuk mengingat kecantikan sang putri Indra Dunia dari Mahat, masyarakat menamai sungai dan nagarinya dengan Mahat dikenal juga sekarang dengan Maek. Mahat merupakan salah satu daerah yang ada di India, tempat asal Putri Indra Dunia. Konon, dari sanalah muasal nama Mahat diambil sebagai nama wilayah. Sebagai penanda bahwa pernah suatu zaman terjadi peristiwa penting seorang putri cantik jelata berasal dari Mahat yang diselamatkan oleh pria gagah bernama Dt. Dibalai. Penguat kisah tersebut dengan adanya Candi di Muara Takus sebagai bukti penyebaran agama oleh orang India pada masa Hindu-Budha dengan alasan kedatangannya untuk berdagang gambir, lada dan emas.
Tetapi tentu saja kisah ini bagian dari cerita-cerita yang dirangkai nenek moyang pada zaman dulu, penuh metafora ataupun tafsiran yang luas. Namun, cerita yang dikisahkan seorang kawan itu memengaruhi pikiranku. Setelah selesai urusan mengisi kelas di sekolah, kami akhirnya sepakat untuk ke Candi Muara Takus lewat jalur sungai menggunakan boat. Menempuh waktu kurang lebih 4 jam. Batang Kampar yang luas membuat visual imajinasiku kepada perjalanan empat saudara tadi, bagaimana hilir mudik pada masa lampau di Batang Kampar yang besar. (Dok. Pribadi Foto: Dua kawan sedang leha-leha di kawasan Candi Muaro Takus)
Sesampai di Candi Muara Takus aku memerhatikan bebatuan yang disusun sedemikian rapi tanpa perekat apapun. Batu-batu alam yang disusun membentuk berbagai bentuk, mulai dari tempat pemujaan, balairung dan lainnya. Kawasanan itu cukup terjaga, dan terbilang bersih dari sampah. Seketika cerita Mahat kembali muncul dalam bayangku. Sambil berleha-leha di bawah pohon rindang, aku menceritakan bagaimana situasi pada masa itu. Darimana batu-batu bangunan tersebut berasal, temanku serentak menjawab, “dari Batang Mahat!” seraya menujukkan bentuk salah satu batu yang jadi pembatas kawasan. Setelahnya hari berlalu, kami pulang segera sebelum petang datang. Perjalanan ke hilir memang cukup cepat, hanya memakan waktu 2 jam. Di jalan, dinding-dinding bebatuan seolah sungai Batang Peti. Kami lewati berbagai tempat-tempat legendaris. (Foto: Batang Kampar. Dok. Pribadi)
Sesampai di rumah kawan itu, segera kami berlanjut ke Jorong Koto Tuo, Kapur IX. Sebuah kampung kecil yang terletak tersuruk menyimpan banyak potensi alam; Batu Belesung, Batu Bertulis, Bukit Perak dan Bukit Sangkar Puyuh. Tetapi, tujuan kami ke sana bukanlah untuk berwisata begitu. Kami ke sana bertujuan mencari info penyebaran paham Tarekat. Sesampai di sana, kami bertemu dengan Pak Kidir, 65 tahun. Seorang tua yang agaknya sudah lebih dulu tau kedatangan kami ke rumahnya. Belum genap kami turun dari mobil, beliau sudah menunggui kami di depan pintu seraya berkata, “masuaklah.”
Malam yang hening, uir-uir berebut bunyi dan gemericik sungai terdengar sampai ke rumah. Obrolan yang liar membawa kami kepada kenyataan hubungan antara Riau dan Minangkabau, polemik klasik orang-orang anonim haus pengakuan.
“Untuk membangun candi yang ada di Kampar, orang-orang pada masa itu mengangkut batunya dari Maek. Kalau tidak di sana, ke mana pula mereka dapat batu sebegitu bagus dan banyak.” Ucap Pak Kidir sambil merapikan duduknya. Lanjutnya, menhir-menhir yang berada di maek sekarang itu dulunya berada di dalam air Batang Maek. Kemudian diangkut ke atas. Itu sebabnya beberapa orang masih kerap menjumpai batu serupa di sungai, mungkin saja tidak terangkat semuanya.
“Nah, itu orang-orang Kampar sekarang mengaku tak ada sangkut paut dengan Minang. Kalau tak ada batu Maek, mungkin tak ada pula itu Candi di Kampar.” Ucapnya meninggi.
Pak Kidir dulunya acap bergerilya mencari jejak sejarah bersama temannya Alis Marajo. Dari sanalah cerita-cerita Situs Menhir di Maek muncul, ditambah pula pertanyaan-pertanyaan yang sejak lama kami simpan. Kami mempertanyakan ulang bagaimana sejarah pengangkutan batu di Batang Maek untuk pembuatan Candi Muara Takus. Batu-batu alam itu diangkut menggunakan kapal-kapal. Tapi, jarak dari Maek ke lokasi Muara Takus tidaklah dekat. Pak Kidir tak begitu mendetail, beliau selalu berlandaskan tidak mempunyai ilmu mendalam. Lalu, aku menakan apa konspirasi terbesar situs Menhir di Maek yang pernah beliau dengar. Beliau diam, aku melanjutkan, dalam sebuah catatan banyak menyebut bahwa Mahat lebih dikenal setelah terjadinya peristiwa Dt. Dibalai menyelamatkan seorang Putri Indah Dunia di Pulau Perca Sumatra.
Dalam catatan lain, Mahat juga dikenal karena kedatangan seorang pemuda gagah dari Kamboja bernama Datuak Sri Gala. Dengan lika-liku dan versi cerita tercetusnya nama Mahat dengan berbagai bentuk rangkaian cerita, sekiranya kisah yang mana lebih mendekati dan dapat diterima secara luas. Beliau dengan tenang menjawab sebagaimana seorang tua-tua kampung, “terserah mau percaya yang versi mana, toh, peradaban itu sudah jauh melampaui zaman. Sekarang saya kembalikan pertanyaan mudah, apakah Maek masih butuh mana yang benar dan mana yang salah?” aku tertegun dan tak dapat menjawab pertanyaan itu. (Foto: Potret Seorang kawan saat bersama Pak Kidir (Almarhum)
Malam lewat, paginya kami bergegas menuju Maek. Kami sebenarnya telah merencakan semacam perjalanan napak tilas lewat bukit bersama seorang kenalan di Muaro Paiti. Tapi pagi-pagi sekali ia mengabarkan tidak bisa berangkat. Dalam hati aku berkata, “syukurlah tidak jadi.” Karena aku tau jarak tempuhnya sangat jauh. Dengan mobil saja nyaris mencapai 2 jam perjalanan. Kami melanjutkan perjalan sambil pulang ke Padang melewati rute ke Maek. Pertanyaan tentang konspirasi yang kutanyakan semalam kembali kutanyakan kepada dua kawan.
Dalam catatan berjudul Nagari Mahek, Nagari 1000 Menhir Negeri Tertua di Limapuluh Koto tulisan Saiful SP tahun 2012, membuka tabir sejarah yang simpangsiur tentang orang-orang Mahat pada masa lampau. Dalam tulisan tersebut mencatat alasan mengapa setiap lengkung ujung menhir yang ada di Maek menghadap ke salah satu puncak gunung. Dari Mahat menghadap puncak gunung Sago dan gunung Bongsu. Tatacara penguburan mayat dengan menelungkupkan si mayat dari arah barat ke selatan dan kepalanya dimiringkan menghadap puncak gunung Sago bagi mayat laki-laki dan bagi mayat perempuan ditelentangkan dengan kedua tangannya menutup kemaluannya. Ditiap kuburan dibangun sebuah menhir sebagai peringatan jasa-jasanya semasa hidup dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk dimintai pertolongan, terutama untuk kemaslahatan. Seperti pada acara menarah baniah yang beberapa tahun silam masih dilakukan orang-orang. Begitu juga dengan pertolongan untuk perkuburan seperti tersirat pada menhir yang berbentuk pedang dan tanduk kerbau hiasan binatang.
Sumber Foto: @Maekfestival
Di perjalanan, bukit-bukit seakan menyimpan misteri. Orang Rantau melewati Darek seperti mendatangi kampung halaman yang telah lama ia tinggalkan. Potrt-potret masalalu layaknya dejavu ingatan. Aku kata, barangkali di masa lalu aku atau mungkin leluhurku pernah ke sini. Aku merasakan suasana yang tidak asing begitu. Waktu berjalan cepat, sesampai di kawasan Maek, petang buru-buru datang dan matahari nyaris tak terlihat. Situs Menhir di Maek kelam, hanya desau dedaunan terdengar di telinga dan anjing nyalak dari kejauhan. Bebatuan itu setengah terlihat, suar dari kejauhan kunang-kunang mulai melintas, tak sanggup menerangi mata. Ia rebah dan berdiri condong. Tak ada yang terlihat berdiri kokoh, semuanya seolah hendak rebah sebagaimana matahari jatuh. Diambang senja, menhir-menhir itu bersenggama dnegan magrib yang lembab. Ada rasa haru, tapi bukan iba. Ada penasaran, tapi kerap terpatahkan. Sulit rasanya menerka-nerka peradaban 2000-6000 tahun SM. Aku hanya membayangkan Putri Indra Dunia ketika diselamatkan Dt. Dibalai dari serangan burung besar. Betapa momen itu memengaruhiku terhadap peradaban Menhir di Maek yang beribu tahun itu.
Penulis : Arif Purnama Putra