Kerajaan dan Perspektif RUU Kerajaan (6):Raja Minangkabau: Musyawarah Perwakilan

Dr Yulizal Yunus Dt Rajo Bagindo
7 Jun 2023 12:08
Budaya 0 23
6 menit membaca

Peranan raja dan institusinya dalam politik kenegaraan, hampir tidak ada kewajiban, sejak kekuasaan raja Minangkabau seperti juga raja dan sultan di nusantara diserahkan kepada NKRI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Hanya saja ada hak pilih dan memilih sebagai warga negara dalam pemilu, baik pemilihan Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota, Gubernur, Presiden maupun calon legislatif (caleg) mulai dari Bamus, DPRD Kabupaten/ Kota dan Pusat DPR RI – MPR RI dan DPD – MPR RI.

Kadang sistem demokrasi barat yang dipakai dalam pemilu “one men one vote” itu, membuat peranan mereka raja-raja dan pucuk adat lainnya “tagaduah”. Tanpa disadari mereka diseret-seret untuk mendukung para calon secara sepihak dan berpihak-pihak. Situasi itu mempihatinkan bahkan dapat melemahkan peranan mereka di bidang adat (kebudayaan) dengan segala sistemnya termasuk sistem pendidikan dan sistem ekonomi lainnya. Bahkan situasional terseretnya pucuk adat (rajo dan penghulu) itu, kadang membuka peluang cucu kamanakan mereka “mandago” (melawan) mereka, karena tergoda kepentingan sesaat dan iming-iming dari para calon yang berbeda dalam pemberian dukungan dan atau pilihan. Apalagi demokrasi ala barat seperti ini berbeda jauh dengan sistem suksesi kepemimpinan rajo-rajo dan penghulu sebagai pucuk adat yang diselenggarakan dengan sistem “musyawarah” dengan quorum “perwakilan” penghulu kaum adat/ suku dan rajo-rajo 4 kerabatnya tadi dalam mengambil mufakat (keputusan). Dalam mengambil mufakat itu senantiasa dipimpin oleh hikmah (nilai dasar) dan kebijaksanaan (nilai instrumental dan praksis) seperti diamanahkan pemberian kedaulatan dalam sila ke-4 Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Sungguhpun peranan raja dalam pentadbiran (administrasi) negara di bidang politik tidak ada kewajiban, namun peranan mereka penting sebagai partisipan menyukseskan pemilu sebagai pendidikan politik rakyat dan mengawal kerukunan hal ehwal pemerintah dalam pembangunan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bahkan memelihara kerukunan beragama, yang di Minang agama itu sandi adat mereka.

Fenomena peranan institusi raja sesuai fungsinya di Minang itu, menginspirasi para penggagas dan pelanjut gerakan melayu Islam di Nusantara. Fakta itu terlihat dalam perumusan peluang strategis dalam memajukan dunia melayu dunia Islam (DMDI) di samping edukasi dan pembelajaran bagi nagari-nagari dalam pelaksanaan pemilu sebagai pendidikan politik masyarakat.

Kerajaan dan RUU Melindungi Ulayat Rajo

Pentingnya peranan rajo sebagai pucuk adat itu disebabkan tiga hal mendasar. Pertama status mereka sebagai pucuk adat di nagarinya, yang rakyat itu semua adalah cucu kemenakan mereka; Kedua, mereka punya kharisma (diohormati, disegani sebagai nan gadang basa batuah, yakni gadang di kaumnya, basa di sukunya dan batuah di nagari sebagai pucuk adat) dan Ketiga aktifitas sesuai dengan status dan kharismanya sebagai pemangku adat pemimpin cucu kamanakan, berpeluang memperkuat kesejahteraan mereka. Malah kadang “stutus”, “kharisma” serta “aktifitas” raja didukung 4 kluster kerabatanya di ranah rantau, maka sering raja dibujuk dan dimanfaatkan untuk mendukung secara sepihak dan berpihak-pihak oleh calon kepala daerah/ pemerintah dan calon legislatif untuk meningkatkan elektabilatas mereka, bahkan dimanfaatkan pemerintah sebagai partisipan mendorong lajunya pembangunan.

Terlebih dalam mendorong masuknya investor oleh pemerintah, banyak peran rajo “tagaduh” dalam memelihara “sako-pusako rajo” berdiri di atas “ulayat rajo”. Ulayat rajo sering terancam dan mengancam limbago rajo dengan terbelahnya jabatan rajo seperti juga terbelahnya jabatan penghulu pucuk adat di nagari. Ancaman itu muncul ketika ulayat rajo tidak dihargai sebagai investasi dalam bentuk lahan, sementara investor luar dihargai untuk mengklain ulayat mereka dan menjadi modal mereka mengambil hutang ke Bank. Penting sebenarnya RUU Kerajaan melindungi ulayat rajo ini seiring dengan pelestarian kebudayaan kerajaan, bagian dari pertimbangan uji sahih RUU Kerajaan.

Semula perlindungan rajo dan ulayatnya, seiring dengan dengan fungsinya memelihara pusako dan ulayatnya adalah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan cucu kamanakan mereka. Namun tiba-tiba investor masuk, pemerintah kadang lebih mementingkan investor dibanding rajo dan atau penghulu sebagai pucuk adat di kaumnya. Muncul strategi politik belah betung, yang satu diangkat/ dihargai dan yang satu dipijak/ tidak “dipandang”. Rajo dengan ulayatnya tidak dipandang sebagai investor.

Sebenarnya, rajo dan investor luar sama-sama investor. Investor yang datang dari luar adalah membawa investasi dana tunai, sedangkan rajo sebagai investor menanti dengan investasi lahan ulayatnya, yang harus dimenej dengan manajemen sharing bagi keuntungan dipasilitasi pemerintah dengan regulasi bagi keuntungan.

Karena pemerintah mementingkan investor yang datang, rajo dirayu-rayu untuk menjual/ melepaskan hak milik ulayatnya, bahkan dipaksa untuk memberikannya sebagai “hak guna”.

Sialnya hak guna itu, setelah habis masa perjanjian, tanah itu pun tak kembali kepada rajo sebagai ulayat yang dikuasainya, tetapi menjadi milik negara. Padahal negara dalam Undang-undang tidak memiliki, tapi memberi “perlindungan”. Akhirnya lahan rajo dan atau penghulu sebagai investasinya lenyap dan beralih kepada investor dan pemerintah. Investor mendapat tanah rajo dibeli murah dan atau memiliki hak guna, difasilitasi pemerintah dan menjadi agunannya ke bank untuk mendapat dana pinjaman, lalu lahan digarap dengan dana pinjaman bank oleh investor, yang sepertinya investor luar yang datang tidak memilik modal, hanya bergantung kepada ulayat rajo yang dipaksa tergadai itu.

Faktanya investor menjadi kaya, pemerintah beruntung, sedangkan rakyat dan rajo gigit jari, tak mendapat apa-apa selain ganti rugi (walau diganti tetap rugi), malah banyak fakta rakyat dan raja pemilik lahan, menjadi kuli di tanah sendiri.

Padahal kalau disadari, pemerintah bisa berpihak kepada rakyat sekaligus investor, yakni dengan memfasilitasi dengan regulasi “manajemen sharing” dan “sharing keuntungan”, dalam usaha mengelolaan investasi dari investor yang datang dengan membawa modal uang tunai, dan rajo dan atau datuk penghulu pucuk adat sebagai investor menanti dengan investasinya lahan ulayat rajo dan atau ulayat penghulu pucuk adat di nagari itu. Namun strategi sharing keuntungan ini yang belum dipasilitasi pemerintah dengan regulasi bagi keuntungan. Saya kira fenomena ini menginspirasi, untuk mengambil pemikiran dan perencanaan strategis dan mengubah tantangan menjadi peluang, yakni bagaimana mengelola lahan rakyat dn limbago adatnya yang dilindungi rajo dan datuk penghulu sebagai pucuk adat di nagari secara adil berbasis adat dan agama serta regulasi hukum formal dipasilitasi pemerintah dengan regulasi “manajemen sharing” dan “sharing keuntungan”.

Justru nagari barajo-barajo. Nagari barajo-rajo itu memiliki ulayat rajo, yang dalam pemanfaatannya diperlukan manajemen sharing diatur pemerintah dilindungan dengan Peraturan Perundang-undangan seperti UU Kerajaan ini. Justru Rajo di Nagari dan atau kerajaan di Minangkabau, menduduki posisi penting sebagai steerring dalam pelaksanaan kewenangan mengurus adat dan masyarakat hukumnya. Di sisi lain organisasi adat di nagari seperti Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai organizing committee. Sedangkan wali nagari/ desa, posisinya sebagai regulator yang diharapkan dapat mensinergikan hukum negara dengan hukum adat di nagari berajo dan atau kerajaan.

Justru dari perspektif peran pentadbiran rajo dan atau penghulu sebagai pucuk adat, boleh manajemen sharing dan sharing keuntungan ini dikembangkan dalam pengelolaan dan memenej kekayaan ulayat rajo sebagai pemilik investasi lahan, diatur regulasinya oleh pemerintah sebagai penghargaan dan penghormatan terhadap raja dan kerajaan. Semestinya wacana ini diakomodasikan dalam RUU Kerajaan ini bersamaan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Rajo/ Sultan dan Kerajaan/ Kesultanan dan atau Rajo Nagari. Kita turut merekomendasikannya pemikiran ini dalam memberikan pengakuan dan pelestarian kebudayaan termasuk sistem ekonomi rakyat, pengembangan pendidikan masyarakat adat, dan pemajuan kebudayaan pada umumnya di nagari-nagari berajo dan kerajaan. Selesai***

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *