Kerajaan dan Perspektif RUU Kerajaan (3): ABS-SBK Identitas Minangkabau dan Updating

Selasa, 6 Juni 2023 - 23:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sumpah Satia Bukit Marapalam itu senantiasa diperperkuat ulang, diupdate dan direaktualisasi sepanjang sejarahnya. Di antaranya diupdate tahun 1837 diakhir Perang Paderi pati sarinya ditulis Syeikh Sulain al-Rasuli dalam tulisan ejaan Arab Melayu (tulisan Jawi). Terakhir Sumpah Sati Bukit Marapalam diperkuat lagi 18 Desember 2018 diprakarsai MUI Sumatera Barat bekerjasama dengan Pemerintahan Daerah terutama Kabupaten Tanah Datar sebagai tuan rumah. Event itu dilaksanakan setelah seminar ABS-SBK Sumpah Sati Bukit Marapalam, di Hotel Emersia Batusangkar pagi 18 Desember 2018 itu. Saya termasuk diadula menjadi Nara sumber di samping Prof. Mestika Zed, Dr. Gusrizal Gazahar, Asbir Dt. Rajo Mangkuto, Prof. Dr. Raudha Thaib lainnya.

Di Puncak Pato Bukit Marapalam Tanah Datar dalam waktu yang sama 18 Desember 2018 itu, sorenya saya (Yulizal Yunus Datuk Rajo Bagindo) didaulat lagi (diminta menyampaikan orasi singkat spontan) mewakili Ninik Mamak Pemangku Adat Datuk Penghulu Minangkabau se Sumatera Barat. Secara singkat saya memaparkan pelaksanaan ABS-SBK dengan peranan yang harus dimainkan sesuai kedudukan dan fungsi “tungku tigo sajarangan” (fungsionaris ulama, penghulu dan cadiak pandai) yang bertanggung jawab di garda terdepan dalam pelaksanaan ABS-SBK itu. Ketiga fungsionaris (Tungku Tiga Sejarangan: Ulama, Penghulu dan Cadiak Pandai) itu dalam berperanan manajemen sharing dalam pelaksanaan ABS-SBK.

Peranan dan dan sharing fungsi tiga fungsionaris itu, adalah fatwa pada ulama (kebijakan), perintah pada penghulu (tata laksana) dan teliti (penelitian) pada cadiak pandai yang hasil penelitian diserahkan kembali ke ulama dan penghulu untuk dilakukan revisi kebijakan (advokasi). Artinya prakteknya, dalam pelaksanaan adat oleh pemerintahan adat (raja di kerajaan dan atau penghulu di nagari) dirasakan ada bersentuhan dengan syara’ (Islam), maka diminta ulama mengeluarkan “fatwa sebagai kebijakan”. Fatwa itu disampaikan kepada penghulu, untuk diperintahkan fatwa itu agar diksanakan oleh masyarakat adat (cucu kamanakan Minangkabau) dalam tata laksana pemerintahan.

ADVERTISEMENT

space kosong

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah lama fatwa dilaksanakan sebagai kebijakan adat dan syara’ itu mengamanakan falsafah ABS-SB, lalu terdapat ada pihak yang dirugikan dana atau yang merasa dirugikan, maka fatwa/ kebijakan itu diteliti oleh kaum intektual (cadik pandai). Penelitian cadiak pandai itu melihat dengan cermat pelaksanaan kebijakan itu inti masalah fenomena masyarakat yang dirugikan dan atau yang merasa dirugikan itu. Juga mencermati masyarakat yang diuntungkan dan atau yang merasa diuntungkan, lalu hasil penelitiannya direkomendasi kaum intelektual digunakan sebagai bahan revisi fatwa sebagai kebijakan itu. Rekomendasi dari hasil penelitian itu disampaikan oleh cadiak pandai yang meneliti, kepada penghulu dan ulama, untuk dilakukan advokasi dan revisi. Kemudian tiga unsur fungsionaris Tungku Tiga Sejarangan tadi bermusyawarah dipimpin hikmah kebijaksanaan dan dihadiri quorum perwakilan ulama, penghulu dan cadiak pandai. Sinergi ketiga unsur fungsionaris “tungku tigo sajarangan” itu selanjutnya melaksanakan mufakat hasil musyawarah itu dalam bentuk manajerial sharing pelaksanaan ABS-SBK, pasti kuat pelaksanaan “adat” sebagai bahasa/ kata ganti “kebudayaan” bagi orang Minangkabau dalam keseluruhan sistemnya. Artinya kebijakan (mufakat sebagai kata bertuah) yang diambil, adalah berdasarkan penelitian dan hasil musyawarah mufakat di Balai Sidang (disebut Balai dan atau Balairung), termasuk pelaksanaan ABS-SBK tadi.

Karenanya ABS-SBK itu selalu diupdate. Aupdate ABS-SBK bagi penguatan dan reaktualisasi Sumpah Sati Bukit Marapalam, 18 Desember 2018 tadi diminta pandangan fungsionaris tigo tungku sejarangan tadi. Pandangan itu dituangkana dalam bentuk orasi/ pidato utamanya dalam tiga aspek. Pertama tentang syara’ adalah pandangan dari pihak ulama, ketika itu didaulat berpidato langsung spontan, Ketua Umum MUI Sumatera Barat al-Ustadz Gusrizal Gazahar.

Baca Juga :  Pertemuan Secara BerdusanakTim Pemprov Sumbar dan Ninik Mamak Nan-24 Maninjau

Saya ingat intinya yang disampaikan Ketua MUI ini. Ia memberi penegasan dalam penguatan “adat disandi syara’ (Islam)” itu, tidak saja hubungan adat dan syara’ itu ibarat aur dan tebing, saling menguatkan keduanya penangkal banjir, tetapi lebih dari itu ibarat hubungan badan dan roh. Artinya perspektif pelaksanaan ABS-SBK sebagai identitas final Minangkabau dipahami sangat integralistik. Kaedah itu sejalan dengan petiti: syara’ nan balindung, adat nan bapaneh. Ibarat satu tubuh, Islam itu roh (dalam tubuh) maka adat Minangkabau itu adalah badan (di luar, bisa berhujan berpanas). Tidak “adat Minangkabau” namanya, kalau tanpa rohnya Islam, karenanya dikatakan, “Islam dilaksanakan oleh adat”.

Artinya Adat Minangkabau itu pengatur prilaku dalam pelaksanaan Islam itu sendiri. Pilosofi petiti Adat Basandi Syara’ – Sayara’ Basandi Kitabulllah (ABS-SBK) – dilaksanaan oleh penghulu (pemangku adat) disinerjikan dengan dua filosif lainnya sebagai strategi dan komitmen pelaksanaannya, pertama “Syara’ mangato Adat Memakai (SM-AM)” uji sahih oleh ulama bersinerji dan “Alam Takambang Jadi Guru (ATJG)” – uji dan verifikasi teliti oleh cadiak pandai (kaum intelektual). Ketiga unsur fungsionaris itu bersinerji. Karenanya tidak mungkin adat bertentangan dengan Islam. Kalau ada yang sepintas (secara kategoris) terlihat dan terkesan seperti bertentangan pelaksanaan adat dengan Islam, maka itu sebenarnya bukanlah adat, tetapi itu adalah prilaku (bahavior).

Nilai ada tidak berubah serti nilai syara’ (Islam) tidak berubah, yang berubah perilaku dalam menganut nilai itu, karena tidak kuat menghadapi pengaruh global yang kadang ekstrim. Fenomena itu manusiawi, bahwa bagaimanapun yang namanya prilaku, pastilah berubah. Itu terjadi di mana saja dan kapan saja, terjadi perubahan prilaku dalam menganut dan memakai nilai, baik nilai syara’ (Islam) dan maupun nilai adat yang kita tahu nilai itu akan bergeser dan tidak pernah akan berubah. Yang bergeser dan berubah perilaku. Karena itu dalam mengawal pelaksanaan ABS-SBK itu ditegaskan adalah tiga unsur fungsionaris “tungku tigo sajarangan” tadi (ulama, penghulu dan cadiak pandai) tadi yang dalam pelaksanaannya bersinerji. Bersama makanya menjadi. Di kearifan Minang dalam tataran idela adat, pelaksanaan filosofi adat ABS-SBK dan urusan masyarakat pendukungnya, tidak jalan sendiri-sendiri, tetapi sharing tiga fungsionaris tungku tiga sejarangan tadi: ulama, penghulu dan cadiak pandai.

Demikian pula mewakili Cadiak Pandai pada acara penguatan ulang Sumpah Satia Bukit Marapalan 18 Desember 2018 itu ialah sejarawan besar Prof. Dr. Mestika Zed didaulat (tanpa teks) berorasi. Singkatnya saya ingat, ia mengeluarkan pemikiran penegas, penting penelitian perilaku dalam pelaksanaan ABS-SBK sebagai identitas final orang Minangkabau dan berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan urusan masyarakat hukum adat. Artinya ABS-SBK sudah final, tetapi yang belum final itu adalah pelaksanaan ABS-SBK itu, apalagi ketika dilihat berhadapan dengan tantangan global berdampak perubahan prilaku menganut dan memakai nilai adat dan Islam itu. Saya sendiri kata Mestika, insya Allah akan menelitinya secara konprehensip bagaimana pelaskanaan ABS-SBK ini dulu, kini dan dalam perspektif ke depan. Namun sejarawan ini sudah wafat, janjinya ini adalah bagian tugas kita sekarang terutama kaum intelektual (cadiak pandai) sejarawan dan pemangku adat, melanjutkan janji itu sebagai bantuan yang dapat diberikan untuk penolong teman yang almarhum ini. Wallahu a’lam bishawab!

Baca Juga :  Nagari Saruaso: Pusat Kerajaan Malayapura hingga Minangkabau

Kerajaan Konfederasi Kerabat dan ABS-SBK Dasar

Selain ABS-SBK dulu dalam tata kelola pemerintahan adat, dijadikan sebagai dasar konstitusional Kerajaan/ Kesultanan Konfederasi Pagaruyung itu juga sumpah. Disumpah berat anak cucuk orang Minangkbau untuk tetap melaksanakannya sampai ke anak cucu kemanakan. Sumpahnya berat, bunyinya: “siapa saja cucuk kamanakan Minangkabau yang tidak mewariskan dan tidak melaksanakannya ABS-SBK, dimakan biso kewi (qawi, kekuatan Tuhan), ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah dilobangi kumbang, dimakan kutuk al-Qur’an 30 Juz”. Artinya dalam pespektif hukum adat, sumpah itu agar melaksanakan hukum adat bersandi syara’, hukum Islam dan tidak terlepas dari sinergitas pelaksanaan hukum positif (semua regulasi) yang di Minang disebut hukum akal.

Istilah hukum adatnya di Minang disebut “tali tigo sapilin” (tiga tali/ tiga hukum yang berlaku di Minangkabau: (1) hukum Islam (tali syara’: normnya pada petiti: berasar ke anggo tanggo, AD/ ARTI Al-Qur’an, Kitabullah) tidak dibuat hanya dipakai saja oleh orang Minang seperti dalam maksud sumber utama Kitabullah/ Al-Qur’an, dipaparkanjelaskan dalam hadis dan dioperasionalkan fiqhi (yurisprudensi Islam) adalah otoritas ulama, (2) hukum adat (tali adat: raso pareso (kecerdasan emosional dan kecerdasan inteligensi) itu dibuat dan ditetapkan dalam musyawarah adalah otoritas penghulu adat, dan (3) hukum akal (tali undang, alur dan patut, wujudnya semua regulasi yang dibuat regulator di pemerintahan) otoritas cadiak pandai/ pemerintahan. Pemikiran ini dapat diikuti dalam buku Syekh Sulaiman al-Rasuli berjudul: Pedoman Hidup Orang Minangkabau Menurut Adat dan Syara’.

Dalam pelaksanaan 3 tali/ hukum yang berlaku di Minangkabau itu (lihat pula Yulizal Yunus, 2018), ada sanksi hukum bagi pelanggar seperti disebut Syekh Sulaiman itu, (1) siapa yang melanggar hukum adat (tali adat: bahukum ka raso jo pareso) sanksinya “punah”, putus keturunannya; (2) Siapa melanggar hukum Islam yang dipakai (tali/ hukum syara’: badasar ke anggo tanggo yakni sumber dasar Kitabullah) adalah “kafir” baik secara akidah Islam sebagai sandi adat juga kafir dalam adat Minangkabau. Kafir di Minangkabau adalah “kaparat”, prakteknya dalam masyarakat tak menerima kebenaran, tinggi ruok pado galeh (buih di digelas), “galeh penuh” tidak bisa diisi, tidak bejalan pada alur yang lurus, dalam persepsi MHA Nagari-nagari Minangkabau, “kaparat” itu dipandang sebagai “sampah masyarakat”; (3) Demikian pula siapa yang melanggar hukun akal (tali undang: berundang ke alur patut, yakni semua regulasi dan atau peraturan perundang-undangan negara), dihukum sebagai “gila”. Artinya hukum yang dijalankan tidak memberikan rasa adil/ tak pada alur patut, maka pelanggarnya dihukum cap sebagai “gila”. (Bersambung ke-4)

Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Mahat: Cerita Lain dari Peradaban Negeri 1000 Menhir | Arif Purnama Putra
Situs Sejarah Diduga Peninggalan Era Megalitik Ditemukan di Padang Pariaman
BKKBN Sumbar Gelar Pilot Project PEK Peduli Stunting di Padang Panjang
Seni Itu Kehidupan Kreatif
Mengenal Tradisi Babako di Kecamatan Sutera
Temu Tim Pemrov Sumbar dengan KAN dan Datuk Pucuk 4 Suku serta Datuk 46 Pasie Laweh
Keberagaman Budaya dan Masyarakat di Provinsi Sumatera Barat
Keberagaman Budaya dan Masyarakat di Provinsi Sumatera Barat

Berita Terkait

Senin, 8 Juli 2024 - 12:23 WIB

Mahat: Cerita Lain dari Peradaban Negeri 1000 Menhir | Arif Purnama Putra

Minggu, 15 Oktober 2023 - 19:57 WIB

Situs Sejarah Diduga Peninggalan Era Megalitik Ditemukan di Padang Pariaman

Rabu, 6 September 2023 - 13:25 WIB

BKKBN Sumbar Gelar Pilot Project PEK Peduli Stunting di Padang Panjang

Rabu, 6 September 2023 - 12:10 WIB

Seni Itu Kehidupan Kreatif

Selasa, 1 Agustus 2023 - 17:05 WIB

Mengenal Tradisi Babako di Kecamatan Sutera

Berita Terbaru