Menarik Seminar Uji Sahih RUU Pelestarian Kebudayaan Kerajaan diselenggarakan Komite III DPD RI bekerjasama PAgA FHUK Unand Padang, di rungan Taher Foundation, 5 Juni 2023. Komite III DPD RI mengundang 5 Narasumber, ialah Prof. Dr. Kurnia Warman, SH, M.Hum (Direktur PAgA), Prof. Dr. Nursyirwan Effendi (Direktur Pasca Unand), Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo (Pusat Kebudayaan Minangkabau) dan Fadhli Junaedi (Disbud Sumbar). Presentasi didahului pengantar Hasbi (Tim Ahli RUU Komite III DPD RI). Seminar dibuka Dekan Fakultas Hukum Unand Padang Dr. Ferdi, SH, MH menyebut bangga, seminar ini sebagai sebuah penghargaan DPD RI. Sambutan disampaikan Komite III DPD RI KH. Hasbi Ali Alwi bin Thohir Al-Husainy, menyebut RUU Kerajaan ini bermaksud memberi penghargaan dan penghormatan kepada kerajaan Nusantara pemilik saham terbesar Republik ini bahkan Indonesia ini lahir dari Kerajaan Besar dan sejak awal berjuang mengorbankan jiwa raga merebut kemerdekaan dan rela menyerahkan harta dan pusaka mereka memperkuat pemerintahan NKRI. Anggota DPD RI Amang Syafruddin, menyebut pengalamannya sosialisasi 4 pilar di Nusantara ini, ia menemukan nilai murni sila ke-4 Pancasila “Kedaulatan, yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” tumbuh dari Kerajaan Minangkabau dalam kebiasaan raja-rajanya bermusyarah di Balairung (Balai Sidang adatnya), yang musyawarah itu quorumnya perwakilan penghulu dan 4 kluster kerabat Kerajaan/ Kesultanan Pagaruyung, untuk mengambil mufakat (keputusan), sebut Yulizal Yunus menceritakan kesan KH Amang Syarifudin, Lc. Berikut ini paparan Yulizal Yunus, berjudul “Kerajaan Minangkabau di Sumatera Barat dan Perspektif Pengakuan Negara dalam Wacana RUU Kerajaan” dimuat 6 kali bersambung di bandasapuluah.com (Redaksi).
Minangkabau dalam perspektif kultural selain sudah dikenal dengan Negeri 1000 ulama, juga boleh disebut Negeri 1000 raja. Terakhir saya menghitung dan saya catat di beberapa buku sejarah yang saya tulis, bahwa raja pada kerajaan federasi 4 kluster kerabat dan raja pada nagari-nagari beraja di ranah dan rantau non diaspora Minangkabau terdapat 200 lebih raja. Kekuatan kerajaan itu berada pada 4 kluster kerabat (Sapiah Balahan, Kapak Radai, Kuduang Karatan dan Timbang Pacahan). Dengan 4 kluster kerabat Minangkabau ini, semua kerajaan federasi kerabat Minangkabau se Nusantara (dalam/ luar wilayah Indonesia) dalam perspektif kebhinnekaan, menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa secara kekeluargaan dan berdusanak.
Namun dalam perspektif Rencana Undang Undang Pelestarian Kebudayaan Kerajaan (saya singkat RUU Kerajaan) yang sedang uji sahih dalam Seminar kerjasama FAgA FHUK Unand dengan DPD RI ini, bahwa dalam meraih pengakuan dan penghormatan negara terahadap kerajaan seperti yang diberi peluang RUU Kerajaan Pasal 5d, ada kekhawatiran sulit bagi kerajaan-kerajaan kerabat Minangkabau. Kesulitan itu berpangkal dari syarat “ada istana/ kraton kerajaan” seperti diamanatkan Pasat 7 ayat 2c RUU Kerajaan ini. Justru 200-san raja nagari beraja dan raja kerajaan kerabat Minangkabau, adalah kerajaan tanpa istana/ kraton. Kerajaan Minangkabau tak menganut konsep kekuasaan istana/ kraton, tetapi yang ada Balairung (Balai sidang) tempat bermusyawarah perwakilan penghulu dan 4 kluster kerabat raja. Meski Balairung disebut istana seperti Istana Basa, istana Siliduang Bulan, istana Tuanku Bosa lainnya, tetapi itu bukan istana tempat tinggal dan bukan pusat pemerintahan kerajaan.
Kerajaan Minangkabau ada beberapa konsep yang tidak dianut, di antaranya istana, kekuasaan, penjajahan dan atau konsep ekspansionisme. Kerajaan Minangkabau kemudian dikenal “Kesultanan Minangkabau di Pagaruyung Darulqarar”, hanya Payung saja, tidak terstruktur membawahi kerajaan-kerajaan federatif 4 kluster kerabat yang otonomi itu. Tidak ada hak perintah terhadap kerajaan lainnya, hanya hubungan payung kerabat dan kekeluargaan saja. Tata kelola pemerintahan adat Kerajaan dan nagari beraja yang hebat disebut Belanda sebagai Kliene Publiken (Republik Kecil), berpusat pada musyawarah perwakilan di Balairung dipimpin hikmah kebijaksanaan. Setinggi raja-raja Minangkabau meski berkelarasan Koto Piliang (otokrasi), kekuatannya tetap pada musyawarah perwakilan mengambil mufakat dengan pertimbangan hasil penelitian cadiak pandai (kaum intelektual).
Karena tidak ada istana dalam sistem kerajaan di Minangkabau, yang ada hanya Balairung (Balai Sidang) tempat bermusyawarah perwakilan, dikhawatiri tak satupun dari 200 raja/ kerajaan di Minangkabau diakui, kalau RUU Kerajaan ini kaku dalam perinsip penyeragaman dengan syarat istana itu. Karenanya dalam uji sahih RUU Kerajaan ini, harus ada klausul bahasa dan nama lainnya untuk konsep istana/ kraton. Artinya melihat Kerajaan-kerajaan Kerabat di Minangkabau, seharusnya tidak dengan paradigma perinsip penyeragaman bentuk wujud kerajaan yang beristana/ kraton, tetapi mestinya memakai perinsip kebhinnekaaantunggalikaan. Karena Kerajaan-kerajaan Kerabat Minangkabau sebagai satu kesatuan kerabat dalam menyatukan nusantara dan negara tetangga, tidak sama dengan Kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya yang memiliki istana. Justru yang ada pada kerajaan-kerajaan kerabat Minangkabau yang otonomi itu, sebutan istana untuk menyebut Balairung (Balai Sidang) raja. Kalau Balairung diartikan istana, maka akan terlihat seperti dikatakan orang luar, seperti Istana Basa, bagaikan sangkar tanpa burung, karena raja memang tak tinggal di sana, tetapi tak lain sebagai Balairung (Balai Sidang) raja bermusyawarah perwakilan mengambil mufakat.
Ketidaksamaan Kerajaan-kerajaan Kerabat Minangkabau dengan Kerajaan Nusantara lainnya terlihat juga pada sentra wilayah keberadaanya. Keberadaannya lebih luas dari wilayah Sumatera Barat, bahkan lebih luas dari Indonesia dengan batas geneologis kerabat. Demikian raja yang memimpin kerajaan kerabat dan atau yang memimpin nagari beraja di Minangkabau itu, ada yang sentra wilayahnya bernama kerajaan, dan ada yang tidak dan tetap disebut saja Nagari meskipun pimpinannya disebut raja. Raja (Minang, rajo) itu terdapat pula beberapa sebutan seperti rajo, sultan (sutan), Daulat, Yang DiPertuan (YDP) dan ada disebut Tuanku seperti Tuanku Bosa Kebuntaran Talu lainnya. Fungsinya sesuai dengan kedudukan (status) dalam berperan pada Masyarakat Hukum Adat (MHA) wujud 544 nagari di Sumatera Barat, adalah berfungsi sebagai pucuak adat di kerajaan atau di nagari-nagari berajo-rajo itu. Kedudukan rajo sebagai pucuk adat itu, sama dengan kedudukan Datuk/ Penghulu di nagari-nagari induak 544 tadi di luak dan rantau Minangkabau (non diaspora). Bersambung ke-2, Klik Disini.