Bandasapuluah.com – Untung dan perasaian agaknya yang membawa orang Cimpu merantau ke Malaysia. Selat Melaka yang terkenal dan penting di dunia itupun dilalui dalam pekat dan heningnya malam.
Dalam gelap, kapal tongkang membawa puluhan orang berlayar membelah lautan. Kapal kecil yang padat dan sesak itu tak saja membawa puluhan orang namun juga membawa harapan yang menggunung demi merubah kehidupan.
Harap-harap cemas tak henti membayangi diri. Bukan saja cemas memikirkan keselamatan diri dari ganasnya gelombang laut yang siap menggulung kapal kecil itu, namun juga kecemasan bila harus ditangkap oleh aparat.
Perjuangan sampai ke negeri “Kolang” tak sampai berhenti disitu. Kapal. tongkang tak mengantar sampai ke tanah tepi. Kapal menurunkan penumpang agak jauh dari tepian pulau. Tepian yang menjadi tempat turun itu rupanya belum mengantarkan langsung ke Semenanjung Malaya.
Pulau itu hanya menjadi tempat singgah sementara sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya. Penumpang harus bergerak dengan cepat melewati rawa yang berlumpur. Lumpur yang dilalui itu setinggi lutut bahkan pinggang. Semua harus bergegas supaya tak terlihat dalam pantauan aparat. Seolah memberi pesan bahwa setiba di Malaysia harus berjuang demi mencapai tujuan.
Untunglah, perjuangan yang melelahkan itu hanyalah cerita lama. Agak jarang terdengar hal yang demikian. Sekarang, semua bepergian secara resmi. Naik kapal besar atau pesawat terbang bila ingin ke Malaysia. Menyelunduk kata orang sudah teramat jarang dilakukan. Namun, tak jarang kejadian yang demikian banyak pula ditanggung oleh orang saat ini.
Setiba di Malaysia, beberapa diantara mereka mencari rumah yang akan ditinggali dan barulah memulai mencari kerja. Kebanyakan bekerja di kilang dengan upah yang terbilang kecil di samping berdagang yang merupakan keahlian orang Minang. Namun, seiring waktu, upah yang diterima pun sedikit demi sedikit mengalami kenaikan. Begitupula dengan dagangan yang dijajakan terus berkembang.
Kehidupan pun sedikit demi sedikit pun berubah. Kabar ini pun tersiar sampai ke kampung halaman. Tak heran, banyak dunsanak dan tetangga yang berkeinginan untuk merantau ke Malaysia dan lama ke lamaan menjadi tradisi.
Beberapa perantau bahkan sudah merasa Malaysia sebagai negeri sendiri. Justru balik ke kampung halaman dirasa seperti pergi merantau, teramat berat hati dirasa dan kaki untuk di langkahkan. Pulang kampung pun hanya sekali dalam setahun ataupun ketika ada alek baik atau buruk, barulah Cimpu di-jilang.
Malaysia telah menjadi tujuan utama dan favorit bagi orang Cimpu pergi merantau. Negera Jiran itu sudah bukan seperti negeri asing bagi orang Cimpu. Meski berjarak ratusan kilometer, pergi ke Malaysia dewasa ini sudah seperti pergi ke halaman rumah. Tak ada canggung dan takut bila hendak ke negeri yang terkenal dengan menara kembarnya itu.
Beberapa kawasan di Malaysia- khususnya di negara bagian Selangor seperti Paya Jaras dan Kajang sudah seperti kampung kedua buat orang Cimpu. Berada di sana seperti di kampung sendiri- tak seperti di negeri orang.
Hampir merata dalam satu keluarga di Cimpu itu ada satu-dua orang yang merantau atau setidaknya pernah ke Malaysia. Bahkan bisa disebut, mata pencaharian orang Cimpu sebenarnya adalah bekerja di Malaysia bila pilihan pekerjaan itu ada dalam sensus dan KTP.
Anak di sekolahkan bila telah masuk usia sekolah di Cimpu. Diasuh oleh keluarga di kampung. Sementara orang tua bekerja di perantauan. Tak sedikit dari anak-anak itu rupanya berwarganegara Malaysia. Tak salah agaknya, bila mereka menganggap Malaysia sebagai negeri sendiri. Toh, nyatanya mereka adalah penduduk Malaysia.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 yang melanda dunia dua tahun terakhir menyebab siklus itu terganggu. Banyak orang Cimpu yang pulang kampung. Mereka yang telah terbiasa hidup di rantau harus kembali membiasakan diri untuk hidup di kampung.
Biasanya yang paling terdampak adalah yang berpergian ke Malaysia menggunakan visa. Periodisasi mereka di rantau sekitar 3 bulan dan sekitar 2 minggu lebih di kampung. Setelahnya, balik lagi ke Malaysia. Begitulah siklusnya.
Malangnya, ketika Covid-19 mewabah perantau itu “terperangkap” di kampung sendiri. Akses menuju Malaysia di tutup. Terpaksalah orang yang biasa bekerja di rantau itu mencari kerja di kampung kembali.
Karena kebijakan pemerintah Malaysia yang tak membuka pelabuhan, membuat para perantau itu gamang hidup di kampung. Tak sedikit yang mencoba masuk ke Malaysia dengan cara menyelundup. Seperti dikisahkan di awal tulisan tadi. Melewati Selat Melaka dengan kapal tongkang dengan mempertaruhkan nyawa di tengah lautan. Banyak juga yang berhasil, tapi banyak juga yang gagal.
Akan tetapi, bagi yang bersabar hasilnya tak kalah manis. Sejak pelabuhan dibuka pada awal Mei 2022, orang Cimpu berangsur-angsur pergi ke Malaysia. Sempat terputus, tradisi merantau ke Malaysia kembali terjadi.
Tapi yang paling terkenang bagi saya waktu kecil bila ada keluarga yang pulang dari Malaysia adalah oleh-oleh yang dibawa pulang seperti Milo dan susu serta beberapa buah seperti lengkeng, jeruk Mandarin dan buah lainnya. Tradisi ini entah masih tetap berlanjut entah tidak. Yang pasti, kenangan waktu kecil itu sulit untuk dilupakan.