Gelombang lumpur besar melanda Pulau Sumatera antara 25-29 November 2025. Badai banjir tersebut disertai jutaan meter kubik kayu berjatuhan dari pegunungan dan menghantam pemukiman serta perkampungan masyarakat di bawahnya. Banjir dan banyaknya kayu yang datang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh manusia. Bahkan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem menyebut peristiwa tragis ini sebagai tsunami kedua.
Di Aceh, badai lumpur dan kayu telah menenggelamkan ratusan desa di 18 kabupaten/kota terdampak. Masyarakat di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara hingga Bener Meriah, Gayo Lues dan sebagian Pidie Jaya, tepatnya di Kabupaten Meureudu dan Meurah Dua, mengalami kehancuran yang sangat parah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga saat ini, kerusakan tersebut secara kuantitatif ditunjukkan oleh data statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun kehancuran kualitatif tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Korban berteriak dan mengibarkan bendera putih sebagai isyarat meminta bantuan Negara secara cepat, tepat dan bermartabat.
Alhasil, bencana yang terjadi akhir November lalu meninggalkan luka mendalam dan menimbulkan trauma yang sulit dilupakan. Saat itu, logika dan perasaan masyarakat Aceh seolah kembali ke masa ketika mereka menghadapi masa perang, konflik bersenjata, atau luka yang tiada tara. Sangat sulit!
Pembaca! Meski penderitaan belum usai, luka belum kering dan bantuan pemulihan masih diperlukan, jauh di Jakarta, Presiden RI Prabowo justru mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang menyatakan harapannya agar Tanah Papua juga ditanami kelapa sawit, sehingga bisa swasembada energi dengan memproduksi bahan bakar minyak (BBM) dari kelapa sawit. Padahal banjir bandang besar di Aceh-Sumatera diduga erat kaitannya dengan deforestasi kelapa sawit.
Pertanyaannya“Mengapa Indonesia begitu agresif dalam mencapai target kelapa sawit?”
Pembaca! Indonesia bukan hanya negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Ia menjadikan kelapa sawit sebagai poros utama pembangunan ekonomi, energi, bahkan politik. Target demi target kelapa sawit ditetapkan secara agresif, seolah-olah perluasan perkebunan adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Pertanyaannya adalah, mengapa negara-negara begitu bertekad untuk mengejar kelapa sawit, meskipun hutan terus menyusut dan bencana ekologi terus terjadi?
Jawaban paling sederhana adalah ekonomi. Kelapa sawit menyumbang devisa dalam jumlah besar, menciptakan lapangan kerja dan menopang neraca perdagangan. Dalam bahasa negaranya, kelapa sawit adalah “penyelamat”. Namun ketika suatu komoditas diberi peran yang terlalu dominan, maka komoditas tersebut akan berubah dari sekedar alat menjadi penentu arah kebijakan. Kelapa sawit bukan lagi sekadar tanaman pangan, melainkan sebuah ideologi pembangunan.
Agresivitas ini juga erat kaitannya dengan agenda kedaulatan energi. Program biodiesel—B35 hingga B40—menjadikan minyak sawit sebagai tulang punggung transisi energi. Negara ini ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada impor solar dan fluktuasi harga minyak global. Kelapa sawit kemudian dipoles menjadi energi yang ramah lingkungan, ramah lingkungan, dan nasionalis. Namun narasi tersebut seringkali mengabaikan fakta bahwa bahan baku biodiesel berasal dari pembukaan lahan secara besar-besaran yang justru mempercepat deforestasi dan krisis iklim.
Di balik alasan ekonomi dan energi, terdapat faktor yang lebih tenang namun menentukan: kepentingan politik dan oligarki. Industri kelapa sawit dikendalikan oleh segelintir perusahaan besar yang memiliki ikatan kuat dengan pusat kekuasaan. Dalam banyak kasus, kebijakan negara tampaknya lebih siap melindungi kepentingan industri dibandingkan hak-hak masyarakat adat, petani kecil, atau ekosistem. Konflik agraria, kriminalisasi warga negara, dan ketimpangan penguasaan tanah menjadi harga yang dinilai adil.
Tekanan internasional, terutama dari Uni Eropa, justru memperkeras sikap negara tersebut. Alih-alih melakukan koreksi serius terhadap tata kelola kelapa sawit, pemerintah justru sering membingkai kritik lingkungan hidup sebagai serangan terhadap kedaulatan nasional. Minyak sawit digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap Barat. Faktanya, masyarakatlah yang pertama kali merasakan dampak dari kebijakan ekspansif ini: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan hilangnya ruang hidup.
Agresifnya kelapa sawit juga mencerminkan sifat pembangunan Indonesia yang masih sangat ekstraktif. Hutan dipandang sebagai cadangan ekonomi, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan. Selama pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya tujuan, pembukaan lahan akan selalu mendapat pembenaran. Biaya ekologi tidak pernah benar-benar diperhitungkan dalam neraca negara. Banjir dianggap sebagai bencana alam, bukan konsekuensi kebijakan.
Pertanyaannya bukan lagi mengapa Indonesia secara agresif mengejar kelapa sawit, namun berapa lama model ini akan dipertahankan. Ketika keuntungan terkonsentrasi pada beberapa pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama oleh rakyat dan generasi mendatang, maka agresivitas layak untuk dituntut. Negara harus berani mengkaji ulang arah pembangunan, menempatkan keberlanjutan dan keadilan ekologis sebagai landasan, bukan sekedar slogan.
Kelapa sawit bukanlah musuh, namun cara negara memperlakukannya bisa menjadi ancaman. Jika hutan terus dikorbankan untuk target produksi, maka yang sebenarnya dikejar bukanlah kemakmuran, melainkan ilusi pertumbuhan. Dan seperti semua ilusi, hal itu akan runtuh—meninggalkan banjir, lumpur, dan pertanyaan-pertanyaan yang terlambat untuk dijawab. ()
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.





