BANDASAPULUAH.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai pernyataan sejumlah pejabat negara terkait pemberitaan bencana berpotensi menekan kebebasan pers dan mengancam peran media sebagai pengawas publik.
Penilaian tersebut disampaikan AJI menanggapi pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya terkait penanganan bencana banjir yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
AJI menyebut pernyataan Maruli yang meminta media tidak membeberkan kekurangan pemerintah sebagai bentuk pembatasan kerja jurnalistik. Menantu Luhut ini mengatakan, sebaiknya kekurangan pemerintah disampaikan langsung kepada pihak terkait dan tidak diungkap melalui media.
Di hari yang sama, Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya juga menyampaikan pernyataan yang meminta media fokus pada pemberitaan positif dan tidak menggiring opini seolah-olah pemerintah dan aparat di lapangan tidak bekerja. Menurut Teddy, situasi bencana memerlukan kerja sama, solidaritas, dan energi positif dari semua pihak.
Pernyataan tersebut menurut AJI dapat diartikan sebagai tekanan kepada media untuk membatasi kritik, terutama dalam situasi bencana yang seharusnya membutuhkan keterbukaan informasi.
Pernyataan seperti ini menekan media ke dalam norma pengekangan peran pers sebagai pengawas, terutama dalam konteks sensitif seperti bencana besar, kata Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida, Sabtu (20/12/2025).
Nany menegaskan, memberitakan upaya pemerintah bukan berarti menutup ruang kritik, karena kritik berdasarkan fakta justru diperlukan untuk menjaga akuntabilitas dan mendorong perbaikan kebijakan.
Ia juga menyoroti praktik pemerintah dalam mengendalikan narasi media di lokasi bencana yang kerap dilakukan dengan alasan menjaga ketertiban dan mencegah kepanikan. Namun pembatasan informasi dinilai berpotensi mengaburkan kondisi nyata di lapangan, antara lain skala kerusakan, penyaluran bantuan, dan evaluasi mitigasi bencana.
“Praktik intimidasi, pemblokiran pemberitaan, bahkan pelabelan “berita negatif” menunjukkan bahwa pengendalian narasi tetap dilakukan demi citra pemerintah. Padahal, di tengah krisis, kerja jurnalistik yang bebas dan akurat justru membantu negara: melawan disinformasi, mempercepat respon publik, dan memastikan bantuan tepat sasaran,” lanjut Nany.
AJI mengatakan, pembatasan akses jurnalis, pengendalian data sepihak, dan pelabelan berita kritis sebagai “berita negatif” dapat memicu praktik sensor mandiri di media.
Kondisi ini dikhawatirkan membuat media enggan menyampaikan kritik dan menarik pemberitaan kritis terkait penanganan pascabencana, sehingga masyarakat kehilangan hak atas informasi yang lengkap.
AJI menegaskan, UU Pers menjamin fungsi pers sebagai penyampai informasi, kontrol sosial, dan pendidikan masyarakat, termasuk dalam situasi darurat. Jurnalis bekerja berdasarkan prinsip verifikasi, konfirmasi, serta pengecekan dan pengecekan, sehingga informasi yang disampaikan tidak sembarangan.
Atas dasar itu, AJI mendesak Jenderal Maruli Simanjuntak dan Letkol Teddy Indra Wijaya menarik pernyataannya dan meminta maaf kepada masyarakat.
AJI juga meminta pemerintah memberikan akses dan perlindungan keamanan bagi jurnalis di wilayah bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, serta mendorong Dewan Pers dan pimpinan redaksi untuk melindungi independensi media dan kepentingan publik.
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.

Sebuah tanda di Teheran pada tanggal 7 Desember menampilkan gambar seorang mahasiswa yang memegang model pesawat satelit, di samping tulisan Persia yang berbunyi, ”Untuk Iran yang lebih baik, misilnya ada pada saya; Saya akan mengirimkannya ke orbit.”




Sebuah tanda di Teheran pada tanggal 7 Desember menampilkan gambar seorang mahasiswa yang memegang model pesawat satelit, di samping tulisan Persia yang berbunyi, ”Untuk Iran yang lebih baik, misilnya ada pada saya; Saya akan mengirimkannya ke orbit.”