BANDASAPULUAH.COM – Kelambanan dan potensi kelalaian operator telekomunikasi kembali menjadi sorotan setelah layanan internet di Aceh berkali-kali lumpuh di tengah situasi darurat pascabencana.
Pola ini terulang kembali dalam beberapa minggu terakhir pasca bencana banjir dan longsor, ketika akses komunikasi terputus hampir tanpa henti dan menyulitkan masyarakat memperoleh informasi penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konsultan Hukum dan Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil, Dr. Bukhari menilai kondisi ini merupakan permasalahan serius yang tidak bisa lagi dipahami hanya sekedar permasalahan teknis belaka.
“Pasca banjir dan longsor, kami melihat betapa rentannya sistem telekomunikasi di Aceh. Internet langsung mati begitu listrik padam. Ini bukan sekedar persoalan teknis, tapi menyangkut tanggung jawab hukum dan pelayanan publik,” ujarnya, Rabu (17/12/2025).
Ia menegaskan, pemadaman internet setiap kali terjadi gangguan sistem mencerminkan lemahnya kesiapsiagaan operator telekomunikasi di daerah rawan bencana. Padahal, layanan komunikasi merupakan infrastruktur vital yang harus tetap berfungsi dalam kondisi krisis.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak Base Transceiver Station (BTS) di Aceh yang belum dilengkapi cadangan listrik yang memadai. Idealnya, menara telekomunikasi memiliki baterai atau genset yang mampu menunjang operasional minimal 4 hingga 8 jam.
Namun pada praktiknya, ada BTS yang hanya bertahan puluhan menit, bahkan ada yang langsung mati jika pasokan utama terganggu. Dalam kondisi darurat, tanggung jawab operator tidak hanya berhenti pada kehadiran genset saja.
Apabila bahan bakar generator BTS habis, sebaiknya operator segera mengisinya kembali. Jika genset rusak karena bencana, penggantian atau perbaikan cepat menjadi suatu kewajiban, bukan pilihan. Ketergantungan yang berkepanjangan terhadap pemulihan pihak lain mencerminkan lemahnya manajemen kedaruratan.
Ia menegaskan, kewajiban tersebut bukanlah suatu pilihan, melainkan tanggung jawab yang melekat pada penyedia jasa telekomunikasi.
“Jika tidak dipenuhi, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian korporasi yang berdampak langsung pada kepentingan dan keselamatan masyarakat,” imbuhnya.
Kondisi ini bertentangan dengan kewajiban yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 dan PP No. 46 Tahun 2021 yang mewajibkan penyelenggara telekomunikasi untuk menjamin keandalan dan kelangsungan layanan, termasuk pada saat terjadi bencana.
Peristiwa yang berulang di Aceh menjadi peringatan keras bahwa internet bukan sekedar layanan tambahan, namun merupakan kebutuhan dasar yang tidak boleh dilumpuhkan justru pada saat paling dibutuhkan.
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






