ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
– Wacana menjadikan Tanah Papua sebagai sumber energi dan pangan nasional kembali menuai polemik.
Seruan Presiden Prabowo Subianto agar Papua ditanami kelapa sawit, tebu, dan singkong mendapat penolakan luas dari masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang menganggap kebijakan ini berisiko besar bagi kelestarian hutan dan ruang hidup Masyarakat Adat Papua.
Gagasan tersebut disampaikan Presiden Prabowo saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Dalam arahannya, Prabowo menargetkan Papua mampu mencapai swasembada energi dan pangan dalam lima tahun ke depan, termasuk memproduksi bahan bakar minyak sawit (BBM) dan etanol dari tebu dan singkong guna mengurangi ketergantungan terhadap impor energi nasional.
Namun rencana ambisius tersebut langsung menuai kekhawatiran berbagai pihak. Koalisi Masyarakat Adat Papua menegaskan Papua bukanlah lahan kosong yang bisa dibuka secara masif untuk kepentingan investasi.
Ketua Pemuda Adat Knasaimos (AMAK), Nabot Sreklefat menyatakan, Papua memiliki sekitar 33-34 juta hektar hutan yang menjadi sumber kehidupan manusia, habitat satwa liar, serta landasan identitas budaya Masyarakat Adat Papua.
“Pembukaan hutan untuk kelapa sawit dan proyek skala besar lainnya jelas mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat,” tegas Nabot dalam keterangannya yang beredar hari ini, Sabtu (20/12/2025).
Penolakan ini juga diperkuat dengan data lapangan. Yayasan Warisan Bentala Rakyat mencatat setidaknya ada 94 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Papua.
Akibatnya, lebih dari 1,33 juta hektar hutan dilaporkan telah dibabat sehingga memicu deforestasi besar-besaran, konflik agraria, dan perampasan tanah adat.
Situasi serupa juga terjadi di Merauke. Proyek swasembada pangan dan energi di wilayah tersebut dilaporkan berjalan tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat, serta izin lingkungan yang minim.
Dalam kurun waktu hampir dua tahun, lebih dari 22.680 hektar hutan alam hilang yang mengakibatkan meningkatnya banjir di sejumlah kabupaten akibat rusaknya kawasan hulu.
Greenpeace Indonesia memandang rencana tersebut sebagai kelanjutan dari pola lama eksploitasi sumber daya alam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit disebut-sebut menjadi penyumbang utama deforestasi, degradasi lahan gambut, dan lonjakan emisi karbon
sebuah pola yang sebelumnya telah meninggalkan jejak kerusakan serius di Sumatera dan Kalimantan.
Sementara itu, Walhi Papua bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menegaskan penolakan tegas terhadap pembukaan hutan adat di Papua.
Mereka menilai kebijakan swasembada pangan dan energi berpotensi memperkuat dominasi korporasi atas lahan berskala luas, serta mengancam kelestarian lingkungan, kedaulatan pangan lokal, dan hak-hak masyarakat adat.
Gelombang penolakan ini merupakan sinyal kuat bahwa pembangunan di Papua menuntut pendekatan yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, serta mendukung perlindungan lingkungan dan hak-hak Masyarakat Adat Papua. *** (Guff)
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.





