ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BANDASAPULUAH.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimaksudkan untuk mempertegas batas antara ranah sipil dan kepolisian, justru memicu polemik lanjutan.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Bukannya menjadi penghambat perluasan kewenangan, efektivitas keputusan tersebut kini dipertanyakan setelah Kapolri mengeluarkan aturan baru.
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menyoroti dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyebutkan frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri menimbulkan kerancuan norma dan ketidakpastian hukum.
Keputusan tersebut, menurut Ikhsan, sebenarnya dimaksudkan sebagai rem konstitusional terhadap praktik penempatan anggota Polri di luar institusi kepolisian tanpa mekanisme pengunduran diri atau pensiun.
Mahkamah Konstitusi menegaskan, frasa tersebut telah mengaburkan makna kewajiban mundur atau pensiun dari kepolisian. “Ini menjadi poin penting untuk koreksi kebijakan,” kata Ikhsan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 13 Desember 2025.
Perpol Kapolri dinilai kontradiktif
Namun keputusan MK tersebut kemudian ditanggapi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membuka ruang penempatan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga sipil.
Ikhsan menilai, alih-alih memperkuat pesan konstitusional Mahkamah Konstitusi, kebijakan tersebut justru berpotensi melemahkan upaya pembatasan peran Polri di ranah sipil.
Keputusan MK harus menjadi energi korektif bagi pemerintah dan refleksi bagi Polri untuk mempercepat konsolidasi reformasi kelembagaan, ujarnya.
Ia mengingatkan, tanpa batasan yang jelas, perluasan jabatan sipil bagi anggota aktif Polri berisiko mengaburkan prinsip supremasi sipil dan melemahkan agenda reformasi sektor keamanan.
“Ini bukan sekedar soal penafsiran hukum, melainkan peringatan agar reformasi Polri tidak berjalan mundur,” tegas Ikhsan.
17 Kementerian dan Lembaga: Kemajuan Kecil, Resiko Besar
Terkait daftar 17 kementerian dan lembaga yang bisa diisi anggota Polri tanpa mekanisme pensiun sebagaimana diatur dalam Perpol 10/2025, Ikhsan mengatakan, di satu sisi, kebijakan tersebut dinilai masih sedikit kemajuan dibandingkan praktik sebelumnya.
Sejak UU Polri disahkan pada tahun 2002, lanjutnya, penempatan anggota Polri pada jabatan sipil terjadi tanpa adanya daftar lembaga yang jelas dan rinci.
Namun masyarakat tetap perlu mendapat penjelasan terkait relevansi penempatan tersebut dengan posisi yang diisi, ujarnya.
Ikhsan menegaskan perlunya pembatasan lebih lanjut, mulai dari jumlah maksimal anggota Polri yang boleh ditugaskan, jenis jabatan yang boleh diisi, hingga batasan waktu penugasan.
Tanpa pembatasan tersebut, akan ada risiko migrasi anggota Polri ke kementerian dan lembaga sipil, serta berpotensi merugikan jenjang karir aparatur sipil negara, jelasnya.
Ancaman terhadap Reformasi Internal Kepolisian
Lebih lanjut, Ikhsan mengingatkan, Perpol 10/2025 tidak hanya berdampak di luar institusi, namun juga berpotensi mengganggu reformasi internal Polri.
Menurutnya, alih-alih memperkuat profesionalisme inti kepolisian, seperti kepolisian yang demokratis, penegakan hukum berbasis hak asasi manusia, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, kebijakan tersebut justru bisa menggeser fokus institusi.
“Daftar 17 kementerian dan lembaga ini berisiko mendorong perluasan pengaruh institusi, membuka ruang konflik kepentingan, dan menjauhkan Polri dari agenda reformasi substantif,” tutupnya.
Latar Belakang Kontroversi
Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2025 secara tegas menyatakan anggota aktif Polri dilarang memangku jabatan sipil tanpa mekanisme pengunduran diri atau pensiun.
Namun baru sekitar sebulan kemudian, Kapolri menerbitkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme penempatan anggota polisi aktif di luar struktur organisasi Polri.
Meski secara administratif memerlukan pelepasan jabatan di lingkungan kepolisian, namun cakupan penempatan yang luas – termasuk di lembaga strategis seperti KPK, BIN, OJK, PPATK, BSSN, dan Kementerian ATR/BPN, menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan paling kontroversial tertuang dalam Pasal 3 Ayat (2) yang secara tegas mencantumkan 17 kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota Polri, baik jabatan manajerial maupun non manajerial, berdasarkan permintaan instansi terkait.
Peraturan politik ini kemudian diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Rabu, 10 Desember 2025.***
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






