CINEMA CITY — Para pelaku dunia film mengingatkan, ambisi Jakarta menghadirkan festival film internasional hanya bisa terwujud jika kota ini terlebih dahulu memperbaiki fondasi ekosistemnya.
Festival film internasional tidak akan bertahan lama tanpa strategi kota, dukungan masyarakat, dan tata kelola yang menyatukan kekuatan institusi film di ibu kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Gulir ke bawah untuk melanjutkan membaca
Direktur Jakarta Film Week Rina Damayanti menegaskan, Jakarta tidak bisa membangun agenda global tanpa memahami struktur ekosistemnya sendiri. Jakarta memang merupakan kota global, pusat industri, dan memiliki tradisi literasi yang kuat. Mungkinkah sinema dan literasi benar-benar bisa menjadi keunikan Jakarta, ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) Sinema Jakarta, Jumat, 5 Desember 2025.
Namun, kata Rina, karakter tersebut tidak akan lahir jika pemerintah hanya bergerak dari atas. Peta ekosistem perlu dibaca dari hulu hingga ke akar-akar masyarakat yang selama ini menjadi ruang regenerasi pembuat film, ide, dan penonton baru.
Rina mencontohkan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang lahir dari kekuatan komunitas. Ia masih ingat saat JAFF pertama kali digelar pada tahun 2006, Garin Nugroho dan kawan-kawan tidak memiliki dana yang besar. Terakhir, mereka menyajikan nasi kucing sebagai menu jamuan makan untuk para tamu dari berbagai negara Asia.
““Panitia juga menyiapkan kasur lipat, sehingga diskusi bisa dilakukan di lokasi yang sama dan lebih menghemat biaya transportasi,” kata Rina. Siapa sangka, kreativitas seperti ini justru menumbuhkan kekuatan masyarakat. “Karakter mereka tumbuh dari kebersamaan,” ujarnya.
JAFF, menurut Rina, bisa menjadi pembelajaran. Jika Pemprov ingin menumbuhkan Jakarta Film Week, maka harus mampu menjangkau lapisan masyarakat bawah. Pasalnya, festival ini lahir dari kebijakan pemerintah, berbeda dengan kasus JAFF di atas.
Rina meyakini JFW harus membuka ruang kolaborasi dengan masyarakat, mendengarkan kebutuhan mereka, dan menghubungkannya dengan tujuan strategis kota.
Pemprov DKI juga tidak perlu meniru Pasar JAFF – bagian dari JAFF yang selama ini menjadi ruang transaksi proyek, menganggukdan pertemuan bisnis antara pembuat film Asia dan jaringan global. “Industri global sudah memiliki saluran seperti ACFM di Busan, TIFFCOM di Tokyo, atau ATF di Singapura,” ujarnya.
Bahkan panitia JAFF Market dan ATF Singapura berjejaring sehingga pelaksanaannya tidak bersamaan. Pelaku industri film Asia bisa menyiapkan itinerary perjalanan dari Yogya ke Singapura, atau sebaliknya.
Jika Jakarta menyasar pasar yang sama dengan menghadirkan Jakarta Film Market, menurut Rina, justru akan menyulitkan pelaku industri global. “Kalau Jakarta dan Jogja saling bersaing, keduanya bisa kehilangan daya tariknya. Padahal, akan lebih baik jika kita bersinergi agar Indonesia memiliki kekuatan nasional yang kuat,” ujarnya.
Co-Founder dan Deputi Hubungan Internasional Jogja Festivals, Felencia Hutabarat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov DKI Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, Jumat, 5 Desember 2025. Tempo/Rega Wijaya
Co-Founder dan Deputi Bidang Hubungan Internasional Jogja Festival Felencia Hutabarat mengusulkan agar Pemprov DKI memanfaatkan modal yang tidak dimiliki daerah lain yakni Dewan Kesenian Jakarta, Dinas Kebudayaan, Sinematek, PFN, dan Badan Perfilman Indonesia. “Ini adalah modalitas yang besar, namun belum pernah dikonsolidasikan dalam satu strategi kota,” katanya.
Ketua Harian II DKJ ini mengatakan, Jakarta harus menata pembagian peran: mulai dari pengelolaan pendidikan, penanganan festival, pengelolaan pasar film, hingga pemetaan ekosistem. Tanpa itu, hulu dan hilir tidak akan pernah berjalan.
Pandangan mengenai pentingnya strategi kota juga muncul dari Budi Setyarso, Direktur Tempo Media Group dan penyelenggara Festival Film Tempo. Ia mengingatkan, festival tersebut bukan sekedar hajatan melainkan panggung global yang memperluas jaringan sineas Indonesia. Budi menceritakan pengalaman Jogja menjadi pusat perhatian di Asia, dimana berbagai potensi proyek baru diumumkan, termasuk produksi baru Pal8: Laut Bercerita.
Menurutnya, festival yang kredibel akan menghubungkan sineas lokal dengan produser, distributor, dan investor global; membuka akses ke khalayak internasional; mempercepat transfer pengetahuan melalui lokakarya; untuk memberikan jalur karir bagi pembuat film muda. “Festival yang kuat bisa menjadi cara untuk memperluas jaringan sineas Indonesia secara global,” ujarnya.
Budi juga menekankan dampak ekonominya. Merujuk JAFF, dia menyebutkan festival tersebut menghasilkan pergerakan ekonomi sebesar Rp36 miliar pada tahun lalu dan melonjak menjadi Rp130 miliar pada tahun ini. Kota seperti Cannes bahkan mencatatkan omzet US$ 33 juta per hari selama festival berlangsung.
Menurutnya, Jakarta dengan banyaknya bioskop, hotel, transportasi, dan jumlah penduduk yang besar memiliki kapasitas infrastruktur yang jauh lebih unggul dibandingkan kota festival lainnya.
Diskusi ini diakhiri dengan pembacaan rekomendasi Felencia. Mereka mengusulkan penyusunan peraturan daerah tentang perfilman Jakarta, pengukuhan Komisi Film Daerah (KFD) sesuai pedoman Bekraf 2017, serta penegasan peran DKJ sebagai lembaga pembinaan dan kuratorial.
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.





