OLEH: AHMADIE THAHA
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konon, di negara kepulauan yang kaya akan kekayaan ini lho, ada satu benda yang kesaktiannya mengalahkan palu pengadilan, mengalahkan hukum, bahkan mengalahkan jagat drama Korea: ijazah. Meski hanya selembar kertas tipis, namun mampu membuat ratusan juta orang terombang-ambing seperti perahu di tengah gelombang monsun.
Negara-negara lain sibuk menangani perekonomian, perang dagang, dan perubahan iklim. Nah, kita? Kita masih berkutat dengan pertanyaan sederhana yang sudah berumur dua tahun: “Ijazahnya asli atau tidak?” Ibaratnya republik ini sedang menjalani ujian nasional, dan kertas yang hilang menjadi syarat kelulusan seluruh bangsa.
Ayo ke Solo, drama ini memasuki babak baru. Pengadilan Negeri Solo, usai pergantian majelis hakim –yang diduga seperti mengganti oli agar mesin tidak mudah panas– menolak eksepsi Jokowi. Padahal, sebelumnya, pengecualian serupa berhasil menghentikan persidangan yang sama, di gedung yang sama, hanya dengan pemain cadangan yang berbeda di kursi kejaksaan.
Kini, dengan adanya keputusan sementara yang menegaskan bahwa pengadilan mempunyai kewenangan untuk memeriksa kasus ini, bola akhirnya tidak lagi memantul ke tribun penonton, melainkan disuruh terus bergulir hingga peluit akhir berbunyi. Artinya, kubu Jokowi sudah kalah dan tak bisa lagi menahan kelanjutan persidangan. Mereka terpaksa menyiapkan skenario dan trik baru untuk mematahkan argumen pihak lawan.
Ya, persidangan harus dilanjutkan. Kuasa hukum Jokowi terpaksa mengangguk manis, “Kami menghormati keputusan pengadilan.” Dalam bahasa politik, itu semacam sapaan diplomatis sambil memegang rem tangan erat-erat. Sementara penggugat yang merupakan mahasiswa UGM yang merasa malu dengan sikap pihak kampus diminta mengunggah bukti.
Saat itu, publik menahan napas seolah sedang menyaksikan final Piala Dunia yang berlanjut ke adu penalti. Semua orang bertanya-tanya: jika pada akhirnya kubu Jokowi kalah di salah satu forum – baik di PN Solo, di KIP, atau di pengadilan lain – apa akibatnya? Bisakah kasus ini meningkat menjadi tuntutan pidana, misalnya pemalsuan dokumen, penyalahgunaan identitas, atau “menghalangi keadilan”?
Ataukah semuanya akan berhenti di tengah jalan seperti lampu merah yang maju mundur? Masyarakat belum tentu memahami kompleksitas hukum acara, namun mereka memahami satu hal: jika pejabat publik tersandung pada sebuah sertifikat, dampaknya akan terasa di mana-mana, mulai dari legitimasi masa lalu hingga stabilitas politik di masa depan.
-000-
Kalau begitu ayo ke Jakarta, panggungnya lebih ramai. Di satu sisi, Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar sidang yang seharusnya sama seriusnya dengan operasi jantung, namun entah kenapa selalu berubah menjadi “stand-up comedy” yang legal. Masih di Jakarta, Jokowi sendiri berhasil menjadikan Roy Suryo dkk sebagai tersangka.
Pada saat yang sama, Kompas TV menayangkan wawancara eksklusif dengan Joko Widodo – tokoh utama drama ini, yang tampil dengan gaya retorika campur aduk antara guru matematika yang sabar dan ketua RT yang sudah lelah berurusan dengan warga. Di layar televisi, Jokowi menyebut akan membawa seluruh ijazahnya ke pengadilan: dari SD, SMP, SMA, hingga universitas.
Lengkap, katanya. Bagaikan album kenangan masa kecil yang tersimpan di lemari antik. “Pengadilan adalah forum terbaik,” ujarnya lagi. Namun, logikanya dibalik: siapa pun yang menuduh, dialah yang harus membuktikannya. Logika hukum yang benar, namun jika diucapkan di tengah keresahan masyarakat, rasanya seperti mengatakan “jangan panik” di ruang tunggu IGD.
Janji tersebut terdengar tegas, namun masyarakat yang telah menunggu bertahun-tahun mungkin bertanya-tanya: Mengapa sekarang? Dan lebih dalam lagi, kenapa rumit sekali, hanya sekedar dokumen yang dulunya cukup ditempel di papan pengumuman sekolah? Mengapa Jokowi tidak menunjukkan ijazah aslinya, bukan fotokopinya, kepada publik jika memang ada?
Kembali ke sidang KIP, suasana semakin ricuh dan “gila” – dan ricuh di sini berarti jelas logika para pihak mulai zigzag. Pertanyaan Ketua DPR itu sesederhana pertanyaan anak SD: “Ijazah Presiden itu open information atau tidak?” KPU menanggapinya dengan lika-liku hukum yang berbelit-belit.
Menurut mereka, ijazah itu “terbuka”, tapi “tidak boleh ditiru”. Hanya “dapat dilihat”. Setara dengan restoran yang memajang menu lezat di etalase, namun pelanggan dilarang makan. Ketua majelis akhirnya mengoreksinya tanpa ragu: kalau terbuka maka akan diberikan salinannya; Jika tidak, gelapkan saja tinta printer.
Hingga saat ini, keseluruhan persidangan telah menjadi semacam drama absurd yang mungkin bisa direkam dengan judul: “Transparansi dan Syaratnya”.
Melihat rangkaian peristiwa ini – Solo yang akhirnya dilanjutkan dengan persidangan, Jakarta yang memiliki beberapa tahapan sekaligus, KIP yang bingung harus terbuka atau tidak – kita belajar satu hal: permasalahan hukum di negeri ini terkadang bukan soal hukum. Alasannya jelas. Hurufnya tebal. Namun niat untuk menegakkan kejelasan seringkali tersembunyi di balik kalimat-kalimat sopan yang berbobot.
Di negara lain, perkara ijazah pejabat publik dapat diselesaikan dalam waktu lima menit. Di sini, dibutuhkan waktu lima tahun, tiga putaran uji coba, dua kali pergantian majelis, dan puluhan episode wawancara TV. Republik ini tidak kekurangan undang-undang. Kami hanya dipenuhi kabut.
Dan pada akhirnya, dari sebuah ijazah kita melihat dalam cermin yang lebih besar betapa mudahnya suatu negara terjebak dalam pusaran ketidakpastian jika transparansi hanya dijadikan sebagai jargon, bukan sebagai prinsip.
Betapa rapuhnya kepercayaan masyarakat ketika apa yang sudah jelas menjelma menjadi keremangan. Betapa lucunya kita semua ketika harus berdebat panjang lebar tentang dokumen-dokumen dasar seorang pejabat tinggi — dokumen-dokumen yang seharusnya menjadi debu di album keluarga.
Terkadang suatu negara tidak belajar dari badai besar. Justru dari hal kecil seperti ini. Dari selembar kertas tipis, kita diingatkan bahwa kejujuran itu gratis, namun biaya untuk menyembunyikannya bisa sangat mahal – sehingga dapat merugikan seluruh negara.
Agensi Digital JetMedia
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






