BANDASAPULUAH.COM– Gelombang tekanan masyarakat agar pemerintah menindak tegas pejabat penerbit izin pertambangan dan pengusahaan hutan kembali menguat pasca banjir besar melanda 18 kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025.
Sejumlah organisasi lingkungan hidup dan masyarakat menilai bencana yang terjadi saat ini bukan semata-mata akibat curah hujan ekstrem, melainkan akumulasi kerusakan ekologi akibat pembukaan hutan, penambangan yang tidak terkendali, dan pemberian izin yang dianggap serampangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur eksekutif sebuah badan lingkungan hidup di Aceh, menyatakan bahwa banjir lintas provinsi adalah “hasil keputusan pejabat yang mengorbankan keselamatan masyarakat demi perluasan usaha ekstraktif.” Ia menegaskan, pejabat yang menandatangani izin alih fungsi kawasan hutan – baik di tingkat kabupaten, provinsi, atau kementerian – harus bertanggung jawab secara hukum.
“Ini bukan lagi persoalan cuaca. Daerah tangkapan air kita sudah rusak parah akibat izin konsesi yang diberikan tanpa analisis risiko jangka panjang. Pejabat yang memberi izin harus diselidiki, kalaupun perlu dibawa ke pengadilan,” ujarnya.
Banjir dahsyat yang terjadi selama tiga hari ini merendam pemukiman, memutus akses jalan nasional, menghancurkan lahan pertanian, dan memaksa lebih dari seratus ribu warga mengungsi.
Daerah yang paling terdampak adalah Aceh Tamiang, Aceh Singkil, Langkat, Dairi, Mandailing Natal, Pasaman Barat, dan Agam.
Di sejumlah titik, banjir diperparah dengan hilangnya tutupan hutan di wilayah hulu yang sebagian besar kini menjadi kawasan pertambangan, perkebunan kelapa sawit skala besar, dan HPH.
Pakar hukum lingkungan hidup Universitas Syiah Kuala menilai pejabat yang menerbitkan izin yang terbukti mengabaikan aspek ekologi dapat dikenakan sanksi hukum, baik melalui UU Lingkungan Hidup maupun UU Administrasi Pemerintahan. “Jika dalam proses perizinan terdapat unsur kelalaian, penyalahgunaan wewenang, atau praktik korupsi, maka jalur pidana terbuka lebar,” ujarnya.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil saat ini sedang mengumpulkan data mengenai konsesi di wilayah hulu DAS, termasuk memetakan izin pertambangan dan perkebunan yang bersinggungan dengan kawasan lindung dan zona rawan longsor. Hasil penyidikan rencananya akan diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Ombudsman RI sebagai dasar mendorong dilakukannya penyidikan resmi.
“Bencana ini tidak boleh berhenti pada belas kasihan dan bantuan logistik. Harus ada penegakan hukum, agar aparat tidak lagi sembarangan menjual hutan kita melalui tanda tangan,” tegas salah satu koordinator koalisi lingkungan hidup.
Tekanan masyarakat semakin kuat setelah sejumlah foto udara menunjukkan kawasan hulu yang tandus, tambang terbuka di kawasan terjal, dan kanal-kanal perkebunan kelapa sawit yang mengubah pola aliran air di banyak kabupaten. Warga di wilayah yang terkena dampak juga menuntut evaluasi total terhadap izin dan peninjauan ulang seluruh proyek ekstraktif di daerah tangkapan air.
Hingga saat ini, pemerintah pusat dan daerah belum mengumumkan langkah investigasi resmi terkait dugaan keterlibatan aparat dalam kerusakan ekologi yang memperparah banjir besar tersebut. Namun tekanan masyarakat diperkirakan akan terus menguat seiring dengan meningkatnya jumlah kerugian ekonomi, sosial, dan ekologi akibat bencana ini.***
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.







