0oleh: Tri Wibowo Santoso
IKLAN
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
BENCANA yang menenggelamkan Sibolga bukan hanya soal cuaca ekstrem. Menyalahkan siklon tropis adalah pilihan paling aman bagi para pejabat dan perusahaan yang malas dan pandai menyembunyikan jejak mereka.
Hujan hanyalah pemicu. Penyebabnya adalah keputusan-keputusan administratif yang muncul dari tabel kekuasaan selama hampir tiga dekade, yang menjadikan hulu sungai menjadi ladang konsesi.
Tidak ada bencana besar yang lahir dari satu hari hujan saja; yang ada hanyalah kegagalan negara yang terus ditutupi dalam retorika teknis.
Hulu Sibolga dimutilasi secara hukum karena tumpang tindih izin. Di atas kertas, izin tersebut sah. Kenyataannya, izin ini membuka peluang eksploitasi terhadap kawasan yang seharusnya menjadi benteng ekologi.
Di sinilah negara bermain di wilayah abu-abu yang sangat berbahaya bagi rakyatnya: menggunakan legalitas formal untuk menutupi ketidakwajaran substantif.
Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan tegas menyatakan bahwa kawasan hutan lindung tidak dapat dialihfungsikan jika berpotensi menimbulkan erosi dan banjir.
Namun peraturan ini hanya sekedar window dressing, sekaligus menjadi justifikasi formal bagi pihak yang menandatangani izin eksploitasi.
Ketika dokumen Amdal diwajibkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, masyarakat menilai hal tersebut sebagai mekanisme keselamatan.
Sayangnya, kekuatan sebuah AMDAL hanya akan sekuat integritas pihak yang menandatanganinya. Walhi dan LSM lain banyak menyuarakan mengenai audit Amdal yang dilakukan oleh PT Agincourt Resources, namun audit tersebut – jika memang ada – tidak pernah diungkapkan ke publik. Transparansi hilang, masyarakat kebanjiran.
Struktur perizinan di Indonesia ibarat labirin yang sengaja dibuat untuk memberikan penyangga bagi pejabat dan korporasi jika terjadi bencana.
Jika izin diberikan Menteri Kehutanan pada suatu era, kemudian diperkuat oleh pejabat ESDM pada era lain, dan diselesaikan oleh gubernur pada tahun berikutnya, maka tanggung jawab dengan mudah bisa dialihkan ke era lain. Hal inilah yang membuat akuntabilitas hukum menjadi tidak jelas.
– Pasal 69 UU 32/2009 mewajibkan setiap pelaku usaha menjaga lingkungan hidup.
– Pasal 88 menekankan tanggung jawab mutlak apabila kegiatan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Namun, logikanya sederhana: bagaimana masyarakat dapat menjamin tanggung jawab mutlak, jika dokumen dasar perizinan dan audit lingkungan hidup tidak pernah diungkapkan secara transparan? Perusahaan bisa bersembunyi di balik Proper Hijau yang diberikan negara, sedangkan masyarakat terdampak banjir bandang hanya mendapat bantuan mie instan.
Kontradiksi yang paling memalukan dalam hal ini datang dari negara itu sendiri. Negara memberi penghargaan kepada perusahaan yang beroperasi di wilayah yang kini terbukti kritis secara ekologis.
Penghargaan tersebut dipasarkan sebagai bukti kepatuhan, meskipun secara hukum tidak menghilangkan kewajiban terhadap lingkungan. Namun secara politis, penghargaan seringkali digunakan untuk meredam kritik. Ironi ini cukup menggambarkan betapa mudahnya birokrasi kita menjadi sandera kepentingan kapital.
Tangkapan peraturan bukanlah sebuah teori; inilah kenyataan yang menenggelamkan desa. Jika izin awal PT Agincourt diterbitkan pada tahun 1997, maka setiap perpanjangan, perluasan, dan revisi dokumen sejak itu harus dibuka satu per satu.
Masyarakat berhak mengetahui siapa yang menandatangani, atas dasar apa, dan dalam konteks apa. Setiap Menteri Kehutanan dan setiap Menteri Lingkungan Hidup sejak izin tersebut diterbitkan, secara moral dan administratif tidak mungkin tidak mengetahui adanya operasi sebesar itu.
Tidak mungkin sebuah tambang raksasa bisa berjalan lancar selama satu dekade tanpa hubungan administratif dengan kementerian.
Kementerian juga tidak mungkin tidak mewaspadai situasi hulu yang semakin kritis. Jika negara ingin terhindar dari tudingan kelalaian struktural, satu-satunya cara adalah dengan membeberkan secara lengkap seluruh dokumen perizinan dan memeriksa setiap pejabat penandatangan.
Bencana Sibolga bukanlah sebuah kecelakaan; itu adalah hasil dari akumulasi keputusan yang buruk. Terlalu mudah bagi suatu negara untuk berkorban di sektor hulu demi investasi, lalu meminta masyarakat di sektor hilir untuk “bersabar”.
Padahal Pasal 28H UUD 1945 dengan tegas menyatakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak-hak masyarakat diiklankan, namun tidak pernah dijadikan prioritas.
Banjir bandang di Sibolga hanya sekedar alarm. Yang ambruk bukan hanya rumah warga, tapi legitimasi negara dalam mengelola hulunya. Jika preseden ini dibiarkan, maka bencana serupa bukan lagi sebuah potensi, melainkan sebuah kepastian.
Yang perlu diusut bukan hanya kerusakan hutan, tapi juga kerusakan integritas sistem perizinan. Tidaklah cukup hanya menyalahkan cuaca ketika akar kerusakan terletak pada meja pejabat dan ruang rapat pemegang saham.
Ketika negara sibuk menunggu data cuaca, masyarakat tenggelam dalam data korupsi kebijakan. Dan selama legalitas masih bisa dibeli, hutan akan terus dirampas, sungai akan terus dirusak, dan bencana tinggal menunggu wilayah selanjutnya yang hancur.
(Direktur Lingkaran Kajian Data dan Informasi (LSDI)
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






