OLEH : FIRMAN TENDRY MASENGI
PERNYATAAN Presiden Prabowo dan Menteri Bahlil menuai kritik. Deforestasi nampaknya merupakan hal baik dan konsekuensi logis bagi terciptanya kemajuan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Respons sederhana dan terkesan naif ini seolah menoleransi bencana lingkungan yang terjadi pekan ini di wilayah Sumatera. Setiap izin perkebunan dan pertambangan yang diterbitkan tanpa transparansi merupakan kesalahan kecil yang mengubah masa depan iklim negara. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah memasuki fase kritis perubahan iklim yang tidak lagi bersifat abstrak.
Banjir bandang, suhu ekstrem, dan penurunan kualitas udara (hidrometeorologi) kini muncul sebagai gejala yang saling terkait – efek kupu-kupu (butterfly effect) dari serangkaian keputusan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Proyek Ibukota Kepulauan (IKN), program food estate, dan perluasan pertambangan memicu deforestasi yang mempercepat kerusakan iklim dan merusak fondasi tata kelola hukum lingkungan.
Konsep efek kupu-kupu yang dipopulerkan oleh Edward Lorenz dalam karyanya The Essence of Chaos (1961), menjelaskan bahwa gangguan kecil dapat berdampak besar pada sistem yang kompleks. Di Indonesia, hilangnya tutupan hutan di wilayah-wilayah utama – Kalimantan, Papua dan wilayah mineral strategis – merupakan pemicu awal serangkaian kerusakan ekologi yang lebih luas: krisis air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan karbon yang memperburuk pemanasan global.
Permasalahan utamanya bukan hanya deforestasi saja, namun kurangnya transparansi hukum lingkungan hidup dalam proses perencanaan, perizinan dan evaluasi dampak. Banyak proses AMDAL yang tidak dapat diakses publik; data deforestasi tidak sinkron; izin pertambangan dan perkebunan yang diterbitkan tanpa keterbukaan informasi; dan pengawasan lemah karena peraturan dihapuskan. Padahal konstitusi menekankan hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) dan kewajiban negara untuk melestarikan sumber daya alam (Pasal 33 ayat (4)).
Kerangka hukum nasional—UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup—sebetulnya mengamanatkan prinsip kehati-hatian, partisipasi masyarakat, dan akses informasi. Namun revisi peraturan turunan dan kemudahan investasi melalui omnibus law cenderung mengaburkan amanat tersebut. Di sektor kehutanan dan pertambangan, mekanisme uji tuntas dan penegakan hukum seringkali terhenti pada tingkat administratif dan tidak efektif di lapangan.
Dalam konteks global, Indonesia telah berkomitmen terhadap prinsip-prinsip Deklarasi Rio tahun 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Perjanjian Paris, dan SDG 13 tentang mitigasi perubahan iklim. Semua instrumen ini memerlukan transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan berbasis ilmiah. Ketika kebijakan pembangunan mengabaikan prinsip-prinsip tersebut, bukan hanya kredibilitas Indonesia yang terkikis, namun juga ketahanan ekologi bangsa.
Kasus IKN misalnya, menunjukkan bahwa visi kota hijau tidak sinkron dengan realitas deforestasi yang terus melonjak. Food estate dibangun dengan justifikasi ketahanan pangan, namun mengubah ekosistem gambut dan merusak fungsi hidrologi. Pertambangan dimaksudkan untuk menjadi penggerak ekonomi, namun justru memperluas lahan kritis dan menciptakan jejak karbon yang sangat besar. Ketiga proyek besar ini menunjukkan pola yang sama: keputusan strategis tidak diuji secara transparan, sehingga masyarakat kehilangan ruang untuk memantau dan memastikan kepatuhan terhadap norma hukum lingkungan hidup.
Dampak iklim yang kita saksikan saat ini bukan hanya akibat dari kebijakan yang salah, namun lebih merupakan konsekuensi dari kesalahan kumulatif yang berakar pada defisit transparansi. Saat ini, efek kupu-kupu bukan lagi sekedar metafora, melainkan gambaran faktual bagaimana ekosistem semakin memburuk akibat serangkaian keputusan yang tidak terbuka dan akuntabel.
Untuk mengembalikan arah, negara harus mengembalikan kedudukan hukum lingkungan hidup sebagai pagar utama perencanaan pembangunan. Transparansi AMDAL, keterbukaan data spasial, audit lingkungan hidup yang independen, dan penguatan penegakan hukum merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar. Pembangunan hanya dapat berkelanjutan jika dasar hukumnya dilaksanakan secara jujur dan terbuka.
Indonesia berada di persimpangan sejarah. Jika deforestasi dan tata kelola yang tertutup dibiarkan, maka keruntuhan sistem iklim tidak lagi menjadi sebuah risiko, namun sebuah kepastian. Namun, dengan memperhatikan transparansi hukum lingkungan hidup secara serius, Indonesia masih memiliki peluang untuk membalikkan keadaan dan menjamin masa depan ekologi yang baik bagi generasi mendatang.
Tangisan dan air mata di Kalimantan serta lemahnya kepakan kupu-kupu di Papua bisa menimbulkan angin puting beliung dan kesedihan di Sumatera.
*(Penulis adalah seorang advokat, direktur eksekutif RECHT Institute Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law.)
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






