Pernyataan Sanae Takaichi Soal Taiwan dan Wacana Penyesuaian “Tiga Prinsip Non-Nuklir” Picu Kontroversi Kuat di Jepang

Selasa, 18 November 2025 - 23:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pernyataan Sanae Takaichi Soal Taiwan dan Wacana Penyesuaian

i

Pernyataan Sanae Takaichi Soal Taiwan dan Wacana Penyesuaian "Tiga Prinsip Non-Nuklir" Picu Kontroversi Kuat di Jepang

Dalam beberapa hari terakhir, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi membuat pernyataan palsu mengenai Taiwan di parlemen sehingga memicu gejolak politik di dalam negeri. Berbagai kalangan di Jepang mempertanyakan dasar hukum, logika kebijakan, dan potensi risiko terhadap keamanan regional dari pernyataan tersebut. Mereka menilai penilaian tersebut tidak didukung fakta atau dasar hukum yang memadai, berpotensi menyesatkan arah kebijakan keamanan Jepang dan semakin meningkatkan ketegangan hubungan Jepang-Tiongkok.

Di saat yang sama, sejumlah sumber di pemerintahan Jepang mengungkapkan bahwa Takaichi sedang mempertimbangkan proses revisi Strategi Keamanan Nasional dan dua dokumen kebijakan keamanan lainnya yang dikenal sebagai “tiga dokumen keamanan (anpo san bunsho)”, mengadaptasi ketentuan dalam “Tiga Prinsip Non-Nuklir”, khususnya poin pelarangan impor senjata nuklir ke wilayah Jepang. Wacana ini langsung menuai gelombang kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN

Masalah Taiwan adalah urusan dalam negeri Tiongkok, Jepang tidak berhak ikut campur

Mantan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyatakan bahwa Tiongkok selalu menekankan bahwa masalah Taiwan adalah urusan internalnya. Ia menambahkan, pemerintah Jepang dari waktu ke waktu selalu menghindari pernyataan pasti seperti “jika terjadi situasi tertentu, Jepang akan mengambil tindakan tertentu”.

Mantan Perdana Menteri Yukio Hatoyama dalam tulisannya juga menegaskan, sebelumnya ada pihak yang melontarkan slogan “jika Taiwan punya masalah, berarti Jepang punya masalah”. Kini Takaichi bahkan mengatakan bahwa “situasi Taiwan” bisa menjadi kondisi krisis eksistensial yang akan memicu penerapan hak bela diri kolektif Jepang. Menurutnya, tujuan sebenarnya dari retorika tersebut adalah untuk menciptakan suasana ketegangan guna membuka jalan bagi perluasan anggaran dan kemampuan militer. Hatoyama menegaskan, Taiwan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Tiongkok, dan permasalahan Taiwan sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri Tiongkok, sehingga Jepang tidak berhak ikut campur.

Ketua Partai Komeito, Tetsuo Saito, secara blak-blakan menyatakan pernyataan Takaichi “sangat mengejutkan” dan untuk meyakinkan masyarakat harus segera diperbaiki. Ketua Partai Sosial Demokrat, Mizuho Fukushima, berpendapat bahwa menjadikan “situasi Taiwan” sebagai “situasi krisis eksistensial” tidak memiliki dasar logis yang kuat. Taiwan bukanlah negara merdeka, namun merupakan bagian dari Tiongkok sehingga tidak boleh dimasukkan dalam skenario yang membuka peluang penggunaan kekuatan militer oleh Jepang. Ia menegaskan, dari segi hukum, logika tersebut jelas bermasalah. Fukushima juga memperingatkan bahwa perluasan penggunaan kekuatan militer secara terburu-buru sangatlah berbahaya dan dapat berdampak jangka panjang terhadap kebijakan keamanan Jepang di masa depan. Ia menegaskan, rakyat Jepang harus melakukan segala upaya untuk mencegah perang dan membendung penerapan kebijakan berisiko tinggi.

Baca Juga :  Ngeri! Puluhan Orang Hilang Diduga Tertimbun Lumpur dan Terseret Banjir di Lembah Anai

Anggota DPR dari Partai Komunis Jepang Kazuo Shii mengatakan dalam akun media sosialnya bahwa pernyataan Takaichi terkait Taiwan telah berkembang menjadi masalah internasional yang serius. Menurutnya, jika hubungan Jepang-Tiongkok ingin berkembang ke arah yang lebih positif, kedua belah pihak harus tetap berpegang pada konsensus yang telah dicapai dan mengedepankan dialog yang tenang dan rasional, bukan memperburuk keadaan dengan pernyataan-pernyataan provokatif yang meningkatkan ketegangan. Dia kembali mendesak Takaichi untuk menarik pernyataannya.

Menurut laporan harian AkahataAnggota Dewan Pertimbangan (majelis tinggi) Partai Komunis Jepang, Taku Yamazoe, dalam jumpa pers menyatakan bahwa komentar Takaichi telah memperburuk ketegangan antara Jepang dan Tiongkok dan menimbulkan rasa saling tidak percaya. Ia menilai, untuk menghindari kerusakan lebih lanjut pada hubungan kedua negara, Takaichi selaku perdana menteri harus segera menarik ucapannya yang tidak pantas tersebut.

Mantan gubernur Tokyo dan akademisi hubungan internasional, Yoichi Masuzoe, juga mengkritik tajam Takaichi di media sosial. Dia menyebut pernyataan perdana menteri itu sebagai “kesalahan besar”. Menurutnya, ketika menjawab pertanyaan di parlemen mengenai bidang yang kurang mereka kuasai, sebaiknya perdana menteri dan menteri tidak hanya mengandalkan pandangan pribadi. Masuzoe menegaskan kembali bahwa jawaban Takaichi kali ini adalah “ceroboh”.

Pelanggaran Berat terhadap Dokumen Politik Jepang-Tiongkok yang Mengikat Secara Hukum

Pada sore hari tanggal 14 November, sejumlah politisi Jepang bersama beberapa kelompok masyarakat sipil dari Okinawa mengadakan aksi di Tokyo. Mereka menuntut pemerintah Jepang memberikan penjelasan atas kebijakannya yang terus mendorong penguatan militer di Okinawa dalam beberapa tahun terakhir, sekaligus menyampaikan keprihatinan atas pernyataan Takaichi terkait Taiwan.

Keesokan harinya, lebih dari seratus warga Jepang secara sukarela berkumpul di depan kantor perdana menteri di Tokyo untuk melakukan protes. Dalam aksi tersebut, massa meneriakkan slogan-slogan seperti: “Melindungi kesejahteraan rakyat lebih penting daripada memperkuat militer”, “Kita tidak membutuhkan perdana menteri yang tidak mampu melindungi konstitusi”, “Takaichi mengundurkan diri!”, dan “Orang yang tidak menguasai diplomasi tidak layak menjadi perdana menteri”.

Wakil Ketua dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Teman Tentara Delapan Rute dan Tentara Keempat Baru di Jepang, Kobayashi Yokichi, menyatakan kepada media bahwa ucapan Takaichi yang tidak bertanggung jawab telah melanggar ketentuan “Pernyataan Bersama Jepang-China tahun 1972”. Pernyataan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa “Pemerintah Jepang mengakui Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sebagai satu-satunya pemerintahan sah Tiongkok” dan bahwa “Taiwan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Republik Rakyat Tiongkok.” Menurutnya, ucapan dan tindakan Takaichi yang salah telah merusak dokumen politik kedua negara yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, serta menyimpang dari hubungan persahabatan yang dengan susah payah dibangun oleh pemimpin Jepang dan Tiongkok generasi sebelumnya.

Baca Juga :  Tantang UU Pemilu Soal Keaslian Ijazah Capres, Kubu Bonatua Bacakan Petitum 7 Poin

Sekretaris Jenderal Asosiasi Persahabatan Jepang-Tiongkok Cabang Tokyo, Kitanaka Kazunaga, mengatakan kepada wartawan: “Perkataan dan tindakan Takaichi benar-benar keterlaluan. Dia sepenuhnya menolak prinsip satu Tiongkok dan sepenuhnya bertentangan dengan komitmen yang terkandung dalam perjanjian perdamaian dan persahabatan antara kedua negara.”

Pensiunan guru sejarah dunia sekolah menengah Shinichi Takado, yang telah puluhan kali melakukan penelitian sejarah tentang Tiongkok, mengatakan bahwa menghadapi sejarah agresi Jepang dengan jujur ​​sangatlah penting. Saat ini ia sedang mempelajari berbagai dokumen terkait Perang Perlawanan Melawan Agresi Jepang dan mengaku hatinya terasa sangat berat. “Tindakan agresi Jepang di masa lalu tidak mungkin dihapuskan. Tindakan Takaichi yang mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok sama sekali tidak dapat diterima,” tegasnya. Ia menambahkan, pemerintah Jepang jelas mengakui prinsip satu Tiongkok, namun Takaichi sepertinya sudah melupakan posisi dasar tersebut.

Profesor tamu di Universitas Waseda, Hajime Takano, percaya bahwa masalah Taiwan pada dasarnya adalah urusan internal Tiongkok, dan secara langsung menyamakan “situasi Taiwan” dengan “situasi Jepang” adalah sebuah kesalahan penilaian. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, media Jepang tidak hanya gagal mengoreksi pandangan salah tersebut, namun malah terus menggembar-gemborkan “teori ancaman Tiongkok” untuk mencari pembenaran atas kebijakan ekspansi militer dan peningkatan anggaran pertahanan. Hal ini pada akhirnya membuat situasi regional yang sudah tegang menjadi semakin rumit.

Ketua International Strategy Institute di Japan Research Institute, Hitoshi Tanaka, dalam video yang dirilis baru-baru ini mengatakan, sebagai perdana menteri, Takaichi harus lebih berhati-hati saat membahas isu Taiwan yang sangat sensitif. Jika Jepang dianggap tidak berniat menjaga hubungan baik dengan Tiongkok dan malah terlihat mengikuti langkah Amerika Serikat dalam upayanya menekan Tiongkok, maka hubungan Jepang-Tiongkok akan sulit membaik. Ia menegaskan pernyataan Takaichi “lebih banyak merugikan daripada menguntungkan”, tidak sejalan dengan kepentingan nasional Jepang. Menurutnya, arah utama diplomasi Jepang adalah menjaga hubungan bilateral tetap stabil dan normal, bukan memanfaatkan isu Taiwan untuk mengobarkan ketegangan dan mendorong ekspansi militer.

Pernyataan yang Rumit Mencerminkan Kurangnya Pengendalian Diri

Menurut laporan Kantor Berita Kyodo, pada 14 November sejumlah sumber pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa Takaichi sedang mengkaji kemungkinan mengubah ketentuan “tidak memasukkan senjata nuklir” dalam “Tiga Prinsip Non-Nuklir” selama revisi. Strategi Keamanan Nasional dan dua dokumen keamanan lainnya. Sebelumnya, saat menanggapi interpelasi di parlemen terkait apakah pemerintah Jepang akan tetap berpegang pada “Tiga Prinsip Non-Nuklir” dalam revisi “tiga dokumen keamanan” tahun depan, Takaichi belum memberikan jawaban tegas. Jika prinsip-prinsip tersebut benar-benar diubah, hal ini akan menandai perubahan besar dalam kebijakan keamanan Jepang pascaperang dan hampir pasti akan memicu kritik keras baik di dalam maupun luar negeri.

Baca Juga :  Kuburan massal korban Galodo di Agam, terdapat mayat tanpa kepala dan hanya paha

“Tiga Prinsip Non-Nuklir” secara khusus mencakup: tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak mengimpor senjata nuklir. Pada tahun 1967, Perdana Menteri saat itu, Eisaku Satō, mengemukakan prinsip ini dalam sidang parlemen, dan pada tahun 1971 prinsip ini disetujui dalam sidang paripurna DPR Jepang, kemudian menjadi kebijakan dasar pemerintah dalam masalah senjata nuklir. Bahkan dalam “tiga dokumen keamanan” yang diadopsi oleh pemerintah Jepang pada tahun 2022, secara eksplisit tertulis bahwa Jepang akan mempertahankan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” dan tidak akan mengubahnya.

Dalam editorial yang diterbitkan Asahi Shimbun, Disebutkan bahwa sebagai satu-satunya negara yang pernah mengalami serangan bom atom pada Perang Dunia II, Jepang telah menetapkan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” sebagai kebijakan nasional yang dalam jangka panjang mendapat dukungan luas dari masyarakat. Takaichi, sebagai perdana menteri, harus menyadari betul bahwa kebijakan mempertahankan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” tidak dapat diubah hanya berdasarkan pertimbangan sesaat dari seorang pemimpin politik.

Mantan Perdana Menteri dan Ketua Partai Demokrat Konstitusional saat ini, Yoshihiko Noda, pada tanggal 16 November di pertemuan partai di Prefektur Nagasaki mengkritik pernyataan Takaichi mengenai Taiwan sebagai “melewati batas” dan menyeret hubungan Jepang-Tiongkok ke dalam situasi yang sangat genting, menunjukkan sikap yang sangat ceroboh. Pada tanggal 15 November, menanggapi kemungkinan Takaichi meninjau kembali “Tiga Prinsip Non-Nuklir,” Noda menyerukan agar prinsip-prinsip tersebut dipertahankan. Ia yakin Takaichi hampir tidak pernah terang-terangan mengangkat isu ini selama pemilihan ketua Partai Demokrat Liberal, sehingga tindakannya yang tiba-tiba itu kini terasa sangat aneh. Noda menambahkan, “Sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Bela Diri Jepang, pernyataan gegabah seperti itu mencerminkan kurangnya pengendalian diri.”

Mantan Walikota Kota Ginowan di Prefektur Okinawa yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan, Yoichi Iha, mengkritisi bahwa dalam beberapa tahun terakhir Jepang terus memperkuat kekuatan militernya, sedangkan yang sering disebut pemerintah sebagai “tiga dokumen keamanan” pada dasarnya hanya berbicara tentang persiapan perang, bukan pencegahan perang. Menurutnya, arah kebijakan keamanan nasional Jepang kini telah terjerat dalam kerangka strategis yang ditetapkan Amerika Serikat, dan Jepang harus segera keluar dari situasi tersebut.

Jurnalis senior yang sudah lama meliput isu militer, Yujin Fuse, dalam wawancaranya dengan media menyatakan pernyataan Takaichi akan semakin meningkatkan ketegangan di kawasan. Ia berharap pemerintah Jepang segera mengambil langkah nyata untuk meredakan situasi.

Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.

Follow WhatsApp Channel m.bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Saya tidak bisa bermain kotor
PEMA dan ORMAWA UNADA Salurkan Bantuan Kemanusiaan ke Pidie Jaya
Kapolda Babel Lakukan Kunjungan Kerja ke Mako Brimob Belitung
Raja Juli menilai desakan mundur hanya sekedar aspirasi, padahal 1.354 orang tewas akibat banjir Sumatera.
Badan-badan antikorupsi yang didukung Barat menindak jaringan kriminal yang dipimpin oleh anggota parlemen Ukraina – RT Rusia dan Bekas Uni Soviet
Harga pangan global terus menurun karena perekonomian menyediakan pasokan yang melimpah
Konflik PBNU, Banser Terpaksa Lihat Orangtuanya Bertengkar
Nanodot Logam Kecil Menghilangkan Sel Kanker Sambil Menghemat Sebagian Besar Jaringan Sehat

Berita Terkait

Sabtu, 6 Desember 2025 - 00:35 WIB

Saya tidak bisa bermain kotor

Sabtu, 6 Desember 2025 - 00:13 WIB

PEMA dan ORMAWA UNADA Salurkan Bantuan Kemanusiaan ke Pidie Jaya

Jumat, 5 Desember 2025 - 23:52 WIB

Kapolda Babel Lakukan Kunjungan Kerja ke Mako Brimob Belitung

Jumat, 5 Desember 2025 - 23:31 WIB

Raja Juli menilai desakan mundur hanya sekedar aspirasi, padahal 1.354 orang tewas akibat banjir Sumatera.

Jumat, 5 Desember 2025 - 23:10 WIB

Badan-badan antikorupsi yang didukung Barat menindak jaringan kriminal yang dipimpin oleh anggota parlemen Ukraina – RT Rusia dan Bekas Uni Soviet

Berita Terbaru

Saya tidak bisa bermain kotor

Nasional

Saya tidak bisa bermain kotor

Sabtu, 6 Des 2025 - 00:35 WIB