BANDASAPULUAH.COM – Linda, warga Kampung Tanjung Kandis, Nagari Taluk Tigo Sakato, Kecamatan Batang Kapas, yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh oknum “E” dan suaminya “A”, berencana menuntut balik dan mengadukan kasus ini ke Polsek Batangkapas di wilayah hukum Polres Kabupaten Pesisir Selatan.
Rencananya, Linda akan memasukkan surat pengaduan tuntutan balik dalam dua hingga tiga hari ke depan jika “E” dan “A” tidak bersedia dimediasi dan berdamai secara adat serta saling memaafkan di nagari, sesuai saran dari pihak kepolisian.
Linda mengungkapkan bahwa dirinya telah dianiaya, dan menyebut bahwa “E” berhutang kepadanya namun enggan membayar. Alih-alih menyelesaikan hutang, “E” malah mengadukannya ke Polsek dengan tuduhan pencurian. Linda merasa hal itu adalah pembalikan fakta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebab saya sudah dianiaya. Ia E berhutang pada saya, rupa-rupanya tak hendak membayar hutangnya. Malah mengadukan saya ke Polsek, dengan menuduh saya pencuri. Apa tidak membalikan fakta?” kata Linda kepada bandasapuluah.com, saat ia datang didampingi suaminya Ijab dan mamaknya Erwin, kamis sore (24/4) di Taluk.
Saat ditanya mengenai waktu kejadian, Linda menyebut bahwa peristiwa itu terjadi sejak awal puasa Ramadhan lalu.
Ia mengaku merasa sedih dan nama baiknya tercemar karena dituduh sebagai pencuri. Meskipun demikian, ia tetap memenuhi panggilan dari kepolisian untuk memberikan keterangan sebagai warga negara yang patuh dan taat hukum.
Linda juga menyampaikan bahwa saat memenuhi panggilan polisi, ia meminta pendampingan dari pemerintah Nagari atau Wali Kampung Tanjung Kandis. Sementara itu, pihak “E” dan “A” yang mengadukan dirinya justru tidak hadir memenuhi panggilan polisi.
“Malah ironisnya, dia yang mengadukan, dia pula yang tidak mau hadir dipanggil polisi,” ujar Linda.
Mengenai kronologi kejadian, Linda menjelaskan kepada bandasapuluah.com bahwa awalnya “E” dan suaminya “A” meminjam uang darinya
dengan segala umbuak umbai (bujuk rayu).
“Karena pandainya E membujuk rayu, saya pinjamkan barang saya 1 emas. Bagi saya orang kampung itu besar. Emas itu mungkin dijadikannya pitih oleh E sebagai tambahan model usahanya”, kata Linda dibenarkan suaminya Ijab dan mamaknya Erwin yang mendampinginya.
Kemudian, Linda mendapatkan informasi yang simpang siur dari orang-orang yang bernasib sama dengannya yang juga pernah meminjamkan uang kepada “E”.
Ia menyebut bahwa “E” seperti “menggalehkan” uang pinjaman orang dengan cara yang menurut perasaannya tidak baik.
Dikatakan, teknik “E” adalah menggalang hutang kepada banyak orang di kampung dengan bujuk rayu, lalu uang tersebut dipinjamkan lagi kepada orang lain dengan bunga tertentu.
Linda mengatakan bahwa ia tidak mengetahui secara pasti, namun ada informasi bahwa beberapa orang yang berhutang dan menjadi korban “E” di nagari tersebut sampai mengalami stres karena terlambat membayar hutang. Bahkan, barang milik orang yang berhutang pun bisa diambil oleh “E”.
“Saya tidak tahu, tetapi diketahui ada orang yang berhutang dan mempiutanginya di nagari ini menjadi stress. Karena terlambat saja membayar hutang kepadanya, apa saja yang dapat dibawanya milik orang yang berhutang itu”, kata Linda menjelaskan.
Linda pun ikut merasa stres karena piutangnya kepada “E” tidak dibayar sesuai janji. Ketika diingatkan, “E” hanya memberi janji-janji kosong.
Saat ditelepon, tidak dijawab; bahkan kemudian nomor Linda diblokir. Ketika dicari ke rumahnya, “E” tidak ada.
Suatu kali di awal Ramadhan, “E” membiarkan anaknya yang masih di bawah umur—yang seharusnya belum boleh mengendarai kendaraan—mengendarai motor ke kampung Linda di Tanjung Kandis.
Linda mengatakan kepada anak tersebut bahwa motornya akan ia tahan sementara agar disampaikan kepada ibunya supaya hutangnya dibayar.
Penahanan motor itu, menurut Linda, tidak bisa disamakan dengan pencurian ataupun perampasan yang dilakukan secara diam-diam. Ia menahan motor itu untuk sementara waktu dengan alasan piutang, dan motor tersebut ia amankan serta jaga dengan baik.
Tindakan itu juga tidak ia lakukan sendiri, melainkan dengan sepengetahuan Wali Kampung Tanjung Kandis. Semua kejadian itu, menurut Linda, telah ia sampaikan dalam proses penyidikan.
“Artinya tindakan saya tidak sendiri sebagai orang kampung. Semua kejadiaan ini sudah saya ceritakan dalam penyidikan. Wali Kampung pun menyebut sudah pula menceritakannya dan dipahami pihak penyidik dan Kapolres sendiri saat bertemu khusus,” ujarnya.
Namun, “E” yang berhutang justru tidak menemuinya langsung. Sebaliknya, secara sepihak “E” melalui suaminya “A” mengadukan Linda ke polisi.
Linda tetap mengikuti proses di kepolisian dan datang didampingi oleh Wali Kampung Tanjung Kandis.
Dalam penyidikan di Polsek Batang Kapas, Linda mengaku berterima kasih kepada Wali Kampung yang tidak membiarkannya sendirian sebagai warga.
Ia juga menyatakan kebanggaannya terhadap aparat kepolisian yang menurutnya sangat bijaksana dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan.
Polisi penyidik, menurut Linda, menawarkan mediasi di nagari dan menyarankan agar masalah tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dan adat melalui mamak masing-masing di nagari.
“Polisi sangat bijaksana menegakkan hukum dan memberikan keadilan, sebab saya rasakan maksud aparat penegak hukum ini. Jelasnya, polisi penyidik menawarkan mediasi di nagari. Selesaikan lebih dahulu secara kekeluargaan dan secara adat melalui mamak masing-masing di nagari”, kata Linda menirukan saran penyidik di kepolisian.
Linda menerima saran mediasi dari penyidik Polsek Batang Kapas, dan kata dia, pada awalnya pihak “E” serta suaminya “A” juga menyetujuinya.
Waktu mediasi telah direncanakan akan dilakukan di Kantor Wali Nagari Taluk Tigo Sakato Batangkapas. Saat itu, “E” dan “A” meminta dibuatkan surat pernyataan. Mendengar permintaan itu, Wali Kampung Tanjung Kandis langsung membuat surat pernyataan tersebut meski sudah larut malam.
“Pihak E dan A berkata buatlah surat pernyataannya. Mendengar itu, lansung Wali Kampung Tanjung Kandis semalam-malam hari membuat sudarat pernyataan, eee tahunya besoknya E dan suaminya A tidak datang, tanpa kabar berita,” jelas Linda.
Linda dan Wali Kampung sudah menunggu, namun yang hadir hanya mamak datuk penghulu dari “E” yang datang dari Teratak. Karena ketidakhadiran “E”, mamak datuk tersebut merasa kecewa.
Ketika dikonfirmasi, Wali Kampung Tanjung Kandis, Yulkisman, membenarkan cerita Linda.
Ia menyatakan bahwa dirinya telah berdialog langsung dengan Kapolsek dan penyidik, dan bahwa pihak kepolisian menyarankan agar dilakukan mediasi.
Kapolsek, menurut Yulkisman, berterima kasih karena pihak nagari bersedia memediasi dalam kerangka perdamaian adat melalui ninik mamak di nagari. Namun sayangnya, pihak “E” dan “A” tidak bersedia, meskipun Yulkisman sendiri pernah menasihati mereka secara langsung agar membayar hutang dan mengambil kembali motor yang dijaga dengan baik oleh Linda di Tanjung Kandis.
Yulkisman menambahkan bahwa dirinya memfasilitasi mediasi hingga larut malam dan membuatkan surat perdamaian bersama ninik mamak, sesuai permintaan dari “A”—pihak yang mengadukan Linda ke polisi.
Namun, saat waktu mediasi tiba di Kantor Wali Nagari Taluk Tigo Sakato, “E” tidak hadir. Yang datang hanya mamak datuknya, mamak Linda, serta Yulkisman sendiri sebagai Wali Kampung.
“Benar sekali mamak datuk dari E kecewa itu berat. Kata datuknya, meminta maaf, begitulah prilaku kemanakan saya E, maafkan saya. Saya sendiri sebagai datuknya tidak dihargai.
Terserah bapak-bapaklah di nagari dan terserah dialah si E. Susahlah saya menjelaskannya lebih lanjut. Sebab sudah jalan yang baik hendak dimediasi dan didamaikan secara adat oleh pemerintah nagari yang mediasi bersama ninik mamak sesuai saran dan arahan Polsek Batangkapas, malah ia E sendiri melanggar janji dan tak hadir di tempat mediasi”, kata Yulkisman Wali Kampung menirukan kekecewaan mamak datuk E sendiri.