FIKIR.ID – Gotong royong (goro) memberi suasana fresh tersendiri. Jiwa tenang, pikiran sejuk. Gelak tawa bersama berderai-derai, yang kerja goro jalan juga. Goro di Masjid as-Sakinah pagi Ahad 6 Agustus 2023 ini rasa membawa segala obat.
Tidakkah Goro ini dulu sebuah aksi sosial agung. Sarat nilai kesalehan sosial (amal saleh sosial). Sayang semangat goro itu di berbagai nagari terakhir sudah mulai memudar. Di kampung-kampung digerakan goro oleh wali nagari. Masyarakat tak keluar. Situasi itu sudah berlangsung lama. Dulu goro, begitu nampak saja Pangulu Palo keluar, apa lagi sudah batagak pinggang pula di pinggir jalan, masyarakat tergopo-tergopo berkumpul goro. “Segan kita pada Pangulu Palo”, ucap mereka.
Beda di era akhir orde baru apa yang terjadi. Di hari goro itu, lah dilatuihkan pulo badia (senapan) oleh Babinsa, tak juga masyarakat keluar goro. Wali Nagari gawik gapai. Entah rasa segan mereka yang kurang atau entah dinilainya pemerintah soal bersih dan berwibawa.
Dulu, canang saja yang digua (dipukul) disusul sorak menyorakkan goro, orang besok siap goro. Di kampung-kampung dulu itu, ada petugas nagari manggua canang sambil bersorak senja menjelang maghrib. Bunyinya, tang ting tong, kalintong pintong, bunyi canang dipukul, disusul soraknya: oiiii dusanak ambo di kampuang nan ko, sabalah ka lawik sabalah ka darek, kaciak tidak basabuik namo, gadang indak babilang gala, kito kasadonyo, besok pagi kito gotong royong yoooooo! Dijawab masyarakat di rumah dan di lapau ramsi bersorak menjawab: iyoooooo! Besok pagi rami goro.
Tapi sejak akhir orde baru itu sampai kini era reformasi 1998 masih ada di sebagian kampung manggua canang dan bersorak, “besok kita gotong royong yoooooo!”. Lalu apa jawab mereka, “mangaa juo goro lai, uang Bandes kan sudah ada” (mengapa juga lagi goro, dana bantuan desa kan sudah ada). Bermiliyar-milyar setiap nagari/ desa!
Kini begitu juga, sejak ada bantuan langsung dan dana desa bermilyaran, menjadi melemah semangat goro. Bahkan membuat masyarakat bermental miskin. Ada orang berada (kaya) di kampung, mau pula meminta Bupati, menempelkan lebel di rumahnya “Rumah Ini Keluarga Muskin”, tak malu mereka, hanya sekedar berharap, mendapat bantuan langsung dari pemerintah seperti orang miskin lainnya.
Kadang bantuan langsung dan dana desa seperti bandes dulu itu, satu sisi berdampak menurunkan semangat goro. Apalagi pemimpin nagari/ desa tak punya daya tarik kuat pula dan atau kurang berwibawa pula merangkul masyarakat untuk berpartisipasi goro ya sudah, terjadilah, bakal ada lagi goro di kampung-kampung.
Mungkin penyebab memudarnya semangat goro banyak faktor. Padahal goro itu sudah akar budaya. Ustad berfatwa: goro itu ta’awun ‘ala l-birri/ bertolong-tolongan berbuat kebaikan. Guru Pancasila mengajarkan, goro itu nilai Pancasila perlu diimplementasikan. Kata orang Piaman, badonceklah mangakok alek. Kata urang tua-tua, karajo barek, dipasamoan (kerja berat dikerjakan bersama) menjadi ringan.
Suatu kali Gubernur berdecak salut, melihat rumah gadang di nagari-nagari, menjulang tinggi, bangunannya lebih gadang pula bangunan dari Kantor Gubernur itu. Bagaimana bisa mereka membangun rumah gadang itu dulu, alat berat dulu tak ada, apakah mereka lebih kaya dari kita sekarang?, tanya Gubernur.
Datuk Penghulu menjawab, orang dulu tak lebih kaya uang dari kita sekarang. Modalnya mereka punya sistem alat ringan (bukan alat berat) untuk membangun rumah gadang, yakni sistem goro. Begitu satu kaum suku terdengar membangun rumah gadang, maka se-nagarinya orang goro membantu. Ada goro mencari tiang dan papan lainnya ke hutan, bertukang bersama, mencari atap ijuk bersama. Bersama bisa. Maka tegaklah rumah gadang. Melihatnya sekarang kita berdecak, kadang heran. Pasalnya sekarang banyak yang kaya, tapi tak banyak sanggup membangun rumah gadang kaumnya. Biayanya mahal. Dulu itu bukan persoalan mahal atau murah. Semangat goro yang kaya.
Helat perkawinan saja dulu, semua dilelang di malam duduk basamo nimik mamak “baiyo-iyo” dan atau malam minum kopi dihadiri mandeh bapak. Rang sumando masing-masing ada kakuannya/ kewajibannya. Sianu mencari kayu. Sianu mencari cubadak dan rabung, Sianu mencari ikan dan telur. Ada yang menjamin beras, ada pula yang menjamin kelapa dan seterusnya. Mamak begitu pula ada kakuannnya. Akhirnya kebutuhan helat terlelang habis. Orang tua tak terbungkuk sendiri membiayai helat. Sekarang helat anak, orang tua sendiri yang terbungkuk. Budaya dalam sistem adat Minang dulu, kebutuhan helat itu digorokan. Apa lagi helat anak (khitan, perkawinan dsb), penyiapan kebutuhan digorokan. Sebab, anak pada orang tua, sekaligus kamanakan dari mamaknya. Tanggung jawab bersama dan goro. Sekarang sistem goro ini yang punah.
Namun ketika semangat goro itu sudah berkobar dengan mufakat, tidak perlu betul digua canang dan atau sorak mik lewat menara masjid. Kalau sudah tahu, masyarakat otomatis ramai berpartisipasi – ikut serta goro. Goro Masjid Assakinah Ahad 6 Agustus 2023 tadi pagi, sebuah contoh goro. Objek goro, mengganti polongan lebih besar, penyaluran air tuturan seluruh atap masjid yang luas. Paralon yang tersedia kecil, sering tekor, karena debet air besar. Tahu objek goro, spontan rami. Hendak ingin sato sakaki, beramal saleh sosial. Hanya dengan modal mufakat dan diumumkan Imam Ali subuh. Nanti pukul 08.00 pagi kita goro. Diundang membawa buah sorga. Adalah ibu-ibu membawa minuman dan kue. Bapak-bapak datang, ada menyertai bawaannya. Ada kue dan ada infak di samping bawa peralatan, cangkul, baling, sulo basi, sendok lainnya.
Mungkin dimaklumi, terpikat goro karena ada ikatan. Dulu orang rajin goro, karena ikatan merasa sekerabat, rasa senagari ikatan spirit nagari, bersama membangun nagari. Ternyata rantau pulang, ajak masyarakat goro, menjadi rami, lebih rami dari ajakan wali nagari. Goro di masjid apalagi, ada ikatan kecerdasan spiritual. Goro itu beribadat dan beramal saleh sosial, di sana ada rahmat Allah. Merasa, ikut goro ingin mendapat rahmat Allah dan bergembira bersama membangun masjid. Karenanya di kampung-kampung, perlu cari trik baru ajak goro, biar goro disemengati dan bersemangat lagi.**