Dengan nada reflektif, Rais mengajukan pertanyaan penting: “Siapa yang mula menjadi ketua besar kita?”
Ia lalu menyampaikan pandangan bahwa Bundo Kanduang-lah yang kemungkinan merupakan tokoh pertama pemimpin Minangkabau, bahkan sebelum Parpatiah dan Katumanggungan. Ia berkisah bahwa seorang anak buah dari Presiden pertama Singapura, yang juga berdarah Minang, pernah menyampaikan bahwa Bundo Kanduang-lah yang menjadi dasar sistem nasab matrilineal Minangkabau. Ini, katanya, menjadi alasan mengapa semua suku diturunkan dari garis ibu.
Rais lalu menyoroti masalah nilai dan keberlangsungan budaya. Ia membedakan antara ata dan bareh, sebagai simbol antara nilai dan praktik nyata. Ia bertanya: “Berapa banyaknya bareh Minang yang harus kita cari sekarang untuk menjadikan kita kembali sebagai masyarakat ulung?” Ia menjelaskan bahwa falsafah merantau telah memasyhurkan orang Minang, dan bahwa semangat itulah yang harus dijaga dan diarahkan kembali untuk memperkuat identitas di tengah globalisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menekankan pentingnya bahasa Minangkabau sebagai identitas utama. Menurutnya, jika orang Minang sendiri tidak lagi menuturkan bahasa mereka, maka tidak ada yang akan melakukannya.
“Jangan sampai bahasa Minang punah seperti bahasa-bahasa lain. Budi dan bahasa adalah modal utama bangsa Minang. Kita dikenal karena budi bahasa, karena indahnya tutur kata. Budi bahasa adalah pakaian kita, kesayangan kita, keindahan kita,” tegasnya.
Rais menegaskan bahwa budi bahasa budaya kita bukan hanya semboyan, tapi lahir dari ciptaan masyarakat Minang sendiri. Orang Minang dahulu, katanya, terkenal sebagai ahli pidato. Bahasa yang digunakan bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tapi juga keindahan, pemahaman, dan kesenian. Ia mengajak agar semangat pidato ini dikembangkan kembali.
Ia juga menyinggung filosofi alam dalam kehidupan orang Minang, yang erat dengan empat unsur alam: bumi, air, angin, dan api. Dalam bahasa, ada pula yang disebut kato nan ampek: mandaki, manurun, malereang, mandata. Negeri Sembilan bahkan meniru prinsip ini dalam bentuk Undang Yang Empat, dan pemimpin tertingginya disebut Pertuan Besar—sebuah jejak langsung dari peradaban Minangkabau.
Menutup orasinya, Rais menegaskan bahwa masyarakat Minang tidak boleh diam. Mereka harus mencari kembali kegemilangan masa lalu, menggali kelompok-kelompok yang masih berakar kuat, dan membangun ulang identitas Minangkabau dengan semangat lama yang diperbarui. Ia menyebut bahwa sebelum pengaruh Hindu-Budha maupun Islam, orang Minang sudah memiliki semangat sendiri, yang dalam istilah antropologi disebut animisme, tapi dalam konteks budaya Minang adalah bentuk makrifat awal yang khas.
Bahasa, menurutnya, juga menjadi medium penting. Ia menyatakan bahwa di Nusantara, hanya ada dua bahasa besar: bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, dan bahasa Minangkabau adalah akar dari bahasa Melayu kuno. Maka, Rais menyerukan agar masyarakat Minang tidak membiarkan bahasa dan identitas mereka dikaburkan oleh bahasa luar, termasuk pengaruh kebarat-baratan.
Sementara itu, Prof. dr. Jurnalis Uddin, Ketua Yayasan YARSI sekaligus Dewan Pembina Minang Diaspora, dalam sambutannya sebagai tuan rumah menyampaikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan acara ini. Ia menekankan bahwa pelestarian bahasa Minang adalah bagian dari merawat akar budaya dan peradaban Minangkabau.
Ia juga mengapresiasi kehadiran dan kemampuan Alya Sarah Lawindo, diaspora Minang di Amerika Serikat, yang masih fasih berbahasa Minang meski telah lama tinggal di negeri rantau.
“Ini bukti bahwa cinta terhadap bahasa Minang bisa tumbuh dari generasi muda, di mana pun mereka berada,” ujarnya penuh kekaguman.
Sementara itu, Burmalis Ilyas, selaku Direktur Eksekutif Minang Diaspora Network-Global (MDN-G) Burmalis juga mengapresiasi kehadiran Tan Sri Dr. Rais Yatim sebagai Keynote Speaker dalam forum ini.
Ia menyebut bahwa Tan Sri Rais Yatim bukan hanya seorang negarawan dan budayawan besar di Malaysia, tetapi juga merupakan tokoh Minangkabau kelas dunia yang menjadi panutan dan inspirasi bagi diaspora Minang di seluruh penjuru dunia.
“Beliau adalah cermin keagungan intelektual Minangkabau di panggung internasional. Konsistensi Tan Sri Rais Yatim dalam memperjuangkan bahasa, budi, dan budaya Melayu-Minang adalah teladan yang luar biasa. Di tengah kesibukannya sebagai negarawan, beliau masih terus membawa nilai-nilai Minang ke ruang-ruang publik, baik dalam karya tulis maupun pidato-pidatonya yang memikat,” kata Burmalis.
Seminar ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Prof. Dr. H. Fasli Jalal, Ph.D sebagai keynote speaker, serta panelis Anwar Abbas digantikan oleh Prof. Dr. Armai Arif Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Fauzi Bahar, Fadly Amran digantikan oleh Nanda Putra Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat, dan Dr. Sastri Sunarti Sweeney. Acara dipandu oleh moderator Dr. Dian Anggraini Oktavia.
Seminar yang disiarkan secara langsung melalui media sosial Universitas YARSI ini menjadi ruang penting dalam merefleksikan kembali tantangan nilai dan identitas Minangkabau di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang kian deras.
Tan Sri Rais Yatim sendiri merupakan sosok berpengaruh di Malaysia yang telah mengabdi selama lebih dari empat dekade di berbagai posisi strategis pemerintahan. Ia memulai karier politiknya sebagai Timbalan Menteri Undang-Undang pada 1976, dilanjutkan dengan jabatan Timbalan Menteri Dalam Negeri.
Pada 1978, ia dipercaya menjadi Menteri Besar Negeri Sembilan hingga 1982. Setelah itu, ia menduduki posisi penting seperti Menteri Kemajuan Tanah dan Kemajuan Wilayah, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Dalam periode pemerintahan berikutnya, Rais menjabat sebagai Menteri di Sekretariat Perdana Menteri bidang hukum, kemudian menjadi Menteri Kebudayaan, Seni dan Warisan, serta Menteri Informasi, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia hingga tahun 2013. Terakhir, ia dipercaya sebagai Presiden Dewan Negara Malaysia dari tahun 2020 hingga 2023.
Halaman : 1 2






