BANDASAPULUAH.COM – Seminar Budaya Minangkabau yang diselenggarakan oleh Rangkayo Minang Indonesia pada Jumat (18/7/2025) di Aula Universitas YARSI, Jakarta, menghadirkan refleksi mendalam tentang arah masa depan budaya dan identitas Minangkabau.
Mengusung tema “Tantangan Nilai dan Identitas Minangkabau Masa Kini”, kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh berpengaruh dari kalangan intelektual, agamawan, budayawan, hingga pejabat pemerintahan.
Sebagai keynote speaker, Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim menyampaikan orasi kebudayaan yang menggugah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim membuka paparannya dengan menyampaikan pandangan luas mengenai entitas Minangkabau sebagai bagian penting dari sejarah Sumatra, Nusantara, dan Indonesia secara umum.
Rais Yatim memulai dengan menyinggung jumlah orang Minangkabau yang, menurutnya, bisa mencapai lebih dari 15 juta jiwa jika dihitung secara global, termasuk mereka yang berada di Sumatra Barat dan di rantau.
Ia mengutip bahwa menurut Gubernur Sumatra Barat tempo hari, terdapat sekitar 5,5 juta penduduk Minang di Sumbar, dan diperkirakan sekitar 6 juta di perantauan.
Namun, ia mengingatkan bahwa angka ini tidak pernah ditetapkan secara resmi dan bukan hal yang mesti dipersoalkan, karena yang lebih penting adalah pengakuan bahwa orang Minang telah tersebar luas dan berkontribusi besar di berbagai tempat.
Salah satu diaspora terbesar orang Minang, katanya, adalah di Negeri Sembilan, Malaysia, yang telah dihuni oleh perantau Minang sejak abad ke-14. Mereka membentuk sembilan suku berdasarkan asal kampung halaman di ranah Minang—seperti Tanah Datar, Seri Lamak, Seri Malendang, Payakumbuh, dan lainnya.
Meskipun sistem sukunya berbeda dengan yang ada di ranah Minang, namun adat perpatih nan sabatang tetap diwariskan dan dipraktikkan. Di Negeri Sembilan sendiri, katanya, terdapat sekitar 1,5 juta penduduk yang bisa dikategorikan sebagai dunsanak, meskipun bahasa yang mereka gunakan tidak persis sama.
Beranjak dari diaspora, Rais masuk ke inti pokok pemikirannya: Minangkabau adalah bangsa lama, bukan bangsa baru. Namun, ia menyayangkan bahwa pengetahuan orang Minang terhadap sejarahnya sendiri sangat terbatas, karena mayoritas penulisan sejarah baru dimulai setelah kedatangan Islam.
Sebelumnya, ada catatan seperti makam Haji Barman yang wafat pada 1375 di Batu Nan Bapahat, yang inskripsinya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Selain itu, tak banyak yang ditulis mengenai asal usul para pendiri adat seperti Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, ataupun sejarah terbentuknya suku-suku seperti Koto Piliang dan Bodi Chaniago.
Ia menyinggung bahwa sumber dari abad ke-12 menyebut bahwa Minangkabau kemungkinan telah ada sejak abad ke-12 atau ke-13, namun sebelumnya disebut dengan nama lain. Ia menyatakan bahwa orang Minang zaman dahulu hidup berdasarkan tradisi, dengan falsafah yang dalam, yang mengajarkan bahwa alam menjadi guru: “Pisau rawik sibungkuak ulu, bantang tilam di tangah laman, pasia jo lawik manjadi guru, alam takambang manjadi pangalaman.” Menurutnya, orang Minang dahulu dikenal memiliki makrifat tinggi dan ilmu yang dalam, namun banyak yang tidak lagi dikenali sekarang.
Klik selanjutnya untuk melanjutkan membaca…
Halaman : 1 2 Selanjutnya