Bandasapuluah.com – Menteri Sosial RI 2001-2009 Bachtiar Chamsyah Datuak Marajo Nan Sati menyoroti persoalan banyaknya pemimpin kaum di Minangkabau atau Datuak yang tidak lagi di hargai oleh kaumnya sendiri.
Bachtiar mengatakan persoalan tersebut memang tidak nampak di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Akan tetapi, permasalahan tersebut banyak dijumpai di tingkat nagari di Sumatera Barat.
Hal itu disampaikan Bachtiar Chamsyah di sela-sela acara Pati Ambalau dan pengukuhan pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat periode 2021-2026 yang di selenggarakan di Auditorium Sumbar, Senin (31/1).
Dikatakan, persoalan tersebut perlu dikoreksi secara bersama. Ia menilai, sang pemimpin yang bernama datuak tersebut berkemungkinan memiliki pendidikan, dan status sosial ekonomi dibawah orang yang dipimpinnya. Sehingga pada akhirnya, ia tidak dihargai dalam kaumnya.
“Ia mungkin memiliki pendidikan yang rendah, status sosial dan ekonomi yang kurang. Sementara yang dipimpinnya lebih dari itu. Tapi, karena secara adat sudah gilirannya maka ia harus memangku jabatan sebagai Datuak.”
“Lantas pertanyaannya, apakah jabatan yang dipangkunya itu, dihormati tidak oleh kaumnya?” tanya Bachtiar
Karena hal tersebut, lanjut pria asal Bayu, Maninjau Agam itu, kehadiran datuak dalam kaum dan nagari hanya dalam bentuk Seremonial. Sementara, katanya, kehadiran datuak tidak seperti itu yang kita inginkan.
Ia melanjutkan, seorang datuak harus bisa membantu jika ada permasalahan yang terjadi pada anak dan kemenakannya.
“Dia diharapkan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di kesukuannya. Itu hanya bisa jika dia memenuhi persyaratan,” jelasnya.
Persyaratan yang dimaksud ialah seorang datuak harus memiliki pendidikan yang baik, status sosial ekonomi bagus, akhlak yang baik serta memberi contoh dan tauladan kepada kaumnya.
“Bagaimana kalau datuak itu tidak pernah ke mesjid. Siapa yang mau menghormati? Maaf ini memang pahit. Tapi, itulah fakta yang terjadi,” ujarnya.
Kelemahan-kelemahan seperti itu, sambungnya, harus segera diperbaiki. Perlu ada regulasi yang mengatur perkara tersebut.
“Apakah memang mutlak giliran itu jika tidak memenuhi persyaratan harus dipaksakan menjadi Datuak. Kalau ini bisa dirubah mengapa tidak kita dirubah,” sambungnya.
Menurutnya, yang tidak bisa dirubah ialah Al-Qur’an dan As-sunah. “Dalam bentuk ini kan bisa, demi menjaga nilai-nilai Minangkabau,” tuturnya.
Ia membayangkan filosofi Adat Basandi Syaratl’-Syara’ Basandi Kitabullah tidak jatuh dari langit. Kata Bachtiar, filosofi itu lahir dari pertarungan yang keras antara kaum agama dan adat.
“Berkuah darah filosofi itu lahir. Maka Kearifan muncul dan lahirlah filosofi tadi dan filosofi ini mampu menghadapi perubahan zaman,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan, ini merupakan tantangan bagi LKAAM Sumbar kedepan di samping banyaknya permasalahan lain. Atas dasar itu, katanya, tugas Fauzi Bahar sebagai Ketum LKAAM berat.
Ia berharap agar ada peraturan daerah yang mengatur bagaimana pemerintah nagari bisa mengokohkan peran dari tigo tungku sajarangan.
“Itu tentu melalui regulasi. Itu harapan saya. Kalau itu bisa difungsikan maka angka kejahatan bisa diturunkan,” pungkasnya.