Andre Husnari
Betul bahwa semua pihak masih harus bersabar menahan diri, menunggu proses penghitungan real count dari KPU Kabupaten. Hanya saja berdasarkan beragam hasil quick count, diantaranya yang dilansir salah satu media cetak Sumbar, hasilnya Paslon 01: 32,2%, Paslon 02: 58,5%, Paslon 03: 9,3%. Artinya andai margin of error nya 10% tetap saja tidak akan mengubah hasil. Karena selisihnya nyaris dua kali lipat. Padahal bagi yang paham metodologi survei, margin of error yang bisa ditoleransi bekisar 3,5-5%, lebih dari itu layak kita pertanyakan kredibilitas lembaga survei yang melansir. Dengan demikian, pengumuman Paslon 02 sebagai pemenang pilkada Pessel 2020, just the metter of time. Berharap ada kejutan semisal hasil real count KPU justru berbeda, sudah ibarat ‘menggantang asap’.
Terbantahkan sudah selusin grafik dan atau diagram yang pernah diunggah beberapa orang tim sukses (harusnya mereka malu), kemudian diklaim itu sebagai data valid, padahal zonder jumlah sampel, waktu pelaksanaan survei, margin of error, dan sebagainya. Kedepan, rakyat Pessel harap tidak lekas percaya pada pihak manapun yang menyodorkan data survei, kecuali memang dia memenuhi kriteria dan standar minimum.
Kita perlu mengapresiasi sikap Arfianof Rajab yang sudah berinisiatif mengucapkan selamat kepada RA-Rudi. Begitupun Marwan Anas selalu ketua Tim Pemenangan Paslon 03. Sementara Paslon 01 dan Ketua Tim Sukses masih menunggu hasil real count, sikap ini juga masih dapat kita maklumi dan hargai.
Baca juga: Selama Hendrajoni Memimpin Pesisir Selatan, Tidak Terdapat Penambahan Panjang Jalan Kabupaten
Mengapa Hendrajoni-Hamdanus bisa kalah telak?
Sejak semula kans Hendrajoni (Hj) selaku Bupati petahana untuk melenggang masuk periode kedua sangat besar. Atas dasar inilah, dapat kita mengerti banyak pihak mendambakan ingin di khitbah (pinang) oleh Hendrajoni naik pelaminan pilkada.
Aspek lain, siapa yang akan memungkiri bahwa Hj telah bekerja untuk Pessel? Jelas itu sebuah fakta. Walaupun sebagai catatan, mesti digarisbawahi, hasil kerjanya cukup banyak dibawah standar. Parameternya tidak bisa cuma perasaan, kita wajib merujuk kepada data resmi BPS dan instansi lainnya sebagai wasit. Data resmi tersebut layaknya rapor bagi siswa atau IPK bagi mahasiswa. Ini lubang besar yang sukar ditambal oleh tim sukses (sehebat apapun mereka).
Hj beruntung turut terangkat oleh banyak proyek perbaikan infrastruktur baik nasional dan propinsi yang kebetulan rampung di masa kepemimpinannya. Seperti jalan nasional dan jalan propinsi. Laksana dapat durian runtuh. Prakarsa atas proyek bisa jadi sudah dirintis diperiode sebelumnya. Namun yang tercerap oleh panca indera masyarakat ialah bahwa di masa Hj ada perubahan signifikan. Bahkan ada upaya oleh inner circle Hj untuk menasbihkan menjadi Bapak Pembangunan.
Selain itu, Hj memiliki rekam jejak (track record) berani mengambil langkah-langkah extra ordinary, tindakan di luar pakem (out of the box) guna mewujudkan keinginannya.
Faktor logistik, sumber daya, istri yang sosialita. Akumulasi dari beragam aspek diatas, plus faktor-faktor lain menjadi pertimbangan logis sekaligus jawaban, mengapa banyak tokoh berbondong-bondong mendeklarasikan dukungan pada Hj. Masuk akal kan?
Kembali pada pertanyaan di atas, mengapa Hendrajoni-Hamdanus bisa kalah?
Baca juga: Kesalahan Penulisan Nama dr. Mohammad Zen
Menurut hemat saya, ada 4 penyebab:
Pertama, Faktor Internal Pribadi Hj Sendiri. Hj bukan monster, bukan pula malaikat. Dia manusia biasa dengan segala kelebihan-kekurangan. Ini yang alpa dalam kontruksi berpikir orang-orang kepercayaan Hj, sehingga fungsi kontrol, kritik membangun nyaris nihil dari pihak terdekat.
Kelemehan mendasar Hj selalu pejabat publik ialah skill Komunikasi Verbal-nya yang payah. Semua harus berani jujur, bukankah kerap kali blunder yang dilakukan Hj ada pada poin ini?! Hj acap kali gagap, gugup, dan gagal melihat situasi, kondisi, mana yang patut dikomunikasikan, mana yang tidak, abai pada lokus, apakah dihadapan rakyat, ASN sebagai mitra kerjanya, para pengkritik, ninik mamak, dan sebagainya.
Hj tergelincir ‘bacaruik-caruik’ di forum ninik-mamak. Terpeleset lidah mempertanyakan kontribusi DB dan NA saat berdialog dengan rakyat. Sering terperosok kata-kata kala memimpin apel dihadapan para ASN. Puncaknya, masa kampanye, saat kandidat berpacu merebut hati rakyat, malah menyentil salah satu nagari dengan istilah ‘nagari kapuyuak’. Alhasil, rasa simpati rakyat sirna, akibatnya ‘takongkang ka balakang’.
Andai Hj bisa lebih hemat berkomentar, kemudian banyak mempercayakan pada juru kampanye atau istrinya, mungkin potensi silap lidah dapat diminimalisir. Hal ini sekaligus pelajaran bagi siapa saja yang berhasrat menjadi pejabat publik supaya terlebih dahulu menguasai (minimal kaidah-kaidah dasar) komunikasi publik.
Kedua, Soliditas Tim Sukses. Analisis saya mungkin saja kurang tepat, tetapi saya melihat sepertinya masih gap (jarak pemisah) antara mesin politik yang langsung dibawah Hj dengan mesin politik Hamdanus.
Jatuhnya pilihan kepada Hamdanus, bisa dikata opsi tepat diantara alternatif lainnya. Setidaknya embel-embel agamis relevan dilekatkan pada Paslon, bila persona Hj berdiri sendiri, predikat tersebut hilang relevansi. Pe-er derivatif dari itu yakni bagaimana menyinergikan dua mesin politik berbeda karakter ini.
Di blantika medsos, tim Hj nampak mendominasi melakukan manuver (kadang berujung blunder), sedangkan tim Hamdanus dan PKS-nya seakan kurang diberi ruang. Sehingga kita kurang mendengar narasi kampanye yang sejuk-teduh, perspektif Islam mengatasi problematika rakyat, atau yang semisal.
Padahal sudah jadi rahasia umum di kalangan aktivis mahasiswa, terutama yang sempat kuliah di kampus-kampus besar di Pulau Jawa; dahulu perpolitikan kampus di dominasi oleh HMI-GMNI, pasca dekade 80an dominasi beralih pada PKS-HTI. Bila PKS-HTI bersatu dalam satu isu di kampus, biasanya habis sudah ruang buat yang lain.
Rata-rata mereka terdidik, giat ibadah, terbiasa berorganisasi, terampil mengelola opini, melek media dan teknologi. Sungguh sayang, potensi itu tersia-siakan. Justru yang dirangkul malah milenial peraup rupiah. Atau barangkali mereka juga kurang nyaman dengan manuver tim Hj di medsos, yang dalam kacamata mereka kurang syar’i. Sementara tidak ada sosok dirijen yang berhasil menjembatani dua kutub berbeda tadi menjadi simfoni.
Ketiga, Strategi Kampanye. Letak persoalan, saya rasa bukan pada tataran strategis, melainkan pada level taktis.
Penetapan tag line ‘HEBAT‘ walaupun sejatinya adalah akronim tapi mengandung sisi lemah. Perumus semestinya meminjam perspektif rakyat awam dalam memaknainya, jangan stereotipe positif perumus. Diksi HEBAT ditangkap rakyat awam lebih dekat kepada sombong, bangga diri, elitis. Rakyat awam dengan mata pencaharian petani, nelayan, buruh, merasa canggung menyematkan kata HEBAT pada diri mereka atau inklud menjadi bahagian darinya, lantaran merasa kami orang biasa, pendidikan rendah, miskin. Di mana letak HEBAT-nya kami? Ada beban psikologis di sana.
Kesalahan fatal berikutnya, strategi tekanan berlebihan kepada ASN. Pelibatan ASN secara vulgar, dengan mendiamkan sikap keberpihakan kasat mata oleh oknum Camat, Wali Nagari, Kepala Dinas. Terbukti mengaduk-aduk rasa keadilan di hati masyarakat. Menciderai nurani rakyat, apalagi ASN itu sendiri yang berupaya tidak terseret pusaran kekuasaan.
Nah, Hukum Newton dalam ilmu fisika kemudian berlaku dalam contoh kasus ini. Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam serta menjaga ke-lembaman-nya. Ketika diberi gaya aksi, maka akan muncul gaya reaksi. Gaya aksi besarnya sama dengan gaya reaksi. Tekanan, intimidasi, ancaman kepada ASN dan rakyat secara berlebihan pasti membuat mereka jengah, muak, lalu berbalik arah gantian menekan.
Baca juga: Terjadi Perdebatan Soal IPM di Debat Publik Putaran II, Lantas Apa Itu IPM?
Coba andaikan oknum-oknum yang tidak netral itu ditegur, diproses, mungkin rakyat akan berempati. Hj akan dinilai punya integritas, sama antara kata dengan perbuatan. Imbas positifnya, rakyat begitu waspada, reaktif di hari-hari masa tenang, tidak sudi uang dan barang dari Paslon manapun masih bergerilya dalam senyap.
Disamping itu, tim medsos 01 terlalu agresif menyerang Paslon 02 di kanal grup FB. Padahal mayoritas anggota grup merupakan pembaca diam. Mereka sekedar meninjau situasi, isu apa yang lagi ramai. Tidak seberapa banyak anggota yang berlaku aktif saling komentar.
Akun bodong terdapat di semua pihak. Namun, bagi yang cermat, dengan mudah terlihat bila akun bodong pendukung 02 dan 03 sifatnya inisiatif pribadi, tidak terorganisir. Sementara di kubu 01 tampak terorganisir lebih rapi. Dari mana membacanya? Keseragaman pola isu atau opini yang diangkat. Beberapa anggota tim medsos agak ceroboh dan sempat keceplosan mengunggah soal briefing internal mereka.
Seolah-olah jika dengan akun bodong kita bebas mau berkata apapun, menistakan harkat siapapun, tanpa ada konsekuensi. Seakan Allah SWT tidak akan menghisab perbuatannya, malaikat luput, terkecoh oleh akun bodongnya. Doa-doa orang yang tersakiti tidak akan diijabah. Menjelang Hari-H malah makin menjadi-jadi. Akhirnya orang makin antipati dibuatnya. Kampanye butuh strategi yang pas, bukan semangat belaka.
Keempat, Momentum Debat Kedua. Saya mendengar sayup-sayup suara alasan dibalik perubahan tempat dan waktu debat kedua. Akan tetapi, bukan di situ intinya.
Apabila di Debat Pertama, ketiga Paslon tampil cukup baik di panggung. Pasca debat, Paslon 02 dibuat babak belur di luar panggung. Masiv betul upaya framing tim medsos 01 menjatuhkan RA. Sedangkan balasan dari tim 02, masih kurang memadai meng-counter attack. Opini pasangan Hj-Hmd di atas angin.
Seperti neraca timbangan nan berayun naik-turun sama berat. Sisi timbangan milik Paslon 02 makin ke bawah, makin berat berkat Debat Kedua. Dedi Rahmanto tampil bagus, sayang kurang diimbangi oleh Sang Wakil. RA-Rudi kompak saling mengisi. Hamdanus bagus. Hendrajoni tidak sebagus debat pertama. Secara umum Paslon 02 lebih unggul pada Debat Kedua.
Sudah bisa diduga. Tim medsos 01, tengah bersiap-siap dengan kamera siaga, menunggu RA keluar ruangan, berharap ada kekhilafan atau respon apa lagi yang akan diperbuat RA? Kemudian itu jadi amunisi mendiskreditkan Paslon 02, mengulangi sukses di luar arena Debat Pertama. Sampai kita saksikan yang digoreng yaitu ‘lompat pagar’. Saya tidak yakin video itu perbuatan tim dari PKS.
Na’as. Tidak disangka, cuma berjarak selemparan batu dari lokasi debat. Oknum Camat tertangkap kamera lari terbirit masuk rumah warga.
Jelas secara bobot berita, insiden itu lebih bernilai, lebih fatal dibanding isu lompat pagar. Eskalasi hari-hari setelahnya bola opini sudah makin menggelinding buat Paslon 02.
Serangan-serangan makin gencar, namun sepertinya kurang disadari justru membuat publik tambah antipati. Demikian terus, pola kampanye medsos yang salah itu terus direproduksi hingga jelang waktu pencoblosan. Lazim rasa over confidence membuat tim jumawa. Gagal membaca efek tersembunyi yang ditimbulkan.
Kesimpulannya, selain empat faktor signifikan di atas, masih terdapat faktor-faktor seperti peran perantau, strategi internal masing-masing tim, pemilih pemula, faktor-x, tidak perlu diulas satu per satu.
“The Winner Takes It All,
The Loser Standing Small”, petikan lirik tembang lawas ABBA tempo 1980 silam. Saya percaya, massa pendukung dan simpatisan Hj-Hmd yang tulus berjuang, berkorban, yang jumlah juga tidak sedikit, insyaAllah dapat legowo berbesar hati menerima apapun hasilnya. Yang berat itu bagi tim sorak.
Kini, pasca pilkada, rakyat Pessel menanti-nanti, andai Hj kalah. Masih bersediakah ia membantu pembangunan Pessel meski bukan dalam kapasitas sebagai Bupati? Masih samakah semangat Lisda Hendrajoni turun ke bawah membantu rakyat? Bisakah RA-Rudi bersikap bijak merangkul semua? Tetap mencoba menghargai Hj sebagai pendahulu? Kapan perlu saya usul, nanti saat peresmian *Masjid Terapung* undang Hj untuk hadir, semoga Hj pun berkenan datang. Bersama-sama kita bangun Pesisir Selatan. Salam Hormat.