Harimau Sumatera dalam Kearifan Adat-Budaya di Minangkabau

Jumat, 29 Agustus 2025 - 08:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Harimau Salah, Dipanggil Tunganai: “Bailau”

Pesan nenek moyang, harimau itu lindungi, jangan dilukai dan jangan dibunuh. Jaga hutan untuk memelihara kenyamanannya. Praktis, dulu harimau itu menjadi sahabat. Tetua Minang dulu pandai berbahasa binatang, termasuk bahasa harimau. Di samping mengerti bahasa, juga pandai mengidentifikasi suara dan prilaku harimau. Darinya mereka belajar triple-g perjalanan harimau, yakni gerak, gerik dan garak. Dari kesungguhan belajar tentang harimau, maka gerakan harimau ini diadopsi orang Minang menjadi langkah strategis dalam silat. Karenanya di Minang ada silat harimau, yakni langkah silat yang meniru gerak gerik harimau.

Karena ketekunan orang Minang juga mempelajari gerak gerik harimau, mereka piawai menghadapi tingkah laku harimau. Harimau ngamuk istilahnya “mangganas”, mereka mencari tunganainya. Karenanya menjadi kearifan lokal: “menundukan harimau cari tunganainya” (bermakna menundukan orang bagak, cari orang yang diseganinya).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Tunganai Harimau” merupakan juru kunci dalam memberi penyadaran kepada harimau yang bersalah. Siapa? Ialah “orang pandai” yang lumayan mengerti perilaku harimau. Tunganai ini yang tahu bagaimana memanggil harimau yang bersalah. Kalau harimau itu disebut orang Minang punya instink disebut “bakamula” – tahu salah benar, maka ketika ia bersalah seperti menangkap ternak dan apalagi menerkam orang, ia akan menyerahkan diri. Kalau tidak menyerahkan diri, dipanggil oleh Tunganai dengan alek nagari, upacara “bailau memanggil harimau”. Tapi kalau tidak bersalah, Tunganai tidak bisa menangkap sembarangan, apalagi menangkapnya untuk kepentingan tertentu seperti dagang, maka harimau itu dengan instinknya disebut “bakamula” itu, bisa berbalik arah melawan kepada Tunganai.

Bailau merupakan alek tradisi masyarakat adat di Minang, meriah dan sakral. Bailau, berarti ber-ilau (menyanyikan ilau) atau bernyanyi gaya ratap – meratap pada kematian, atau menjujai anak, atau berarti juga bepetata petiti seperti pelewaan datuk, siriah pinang, turun makan, atau untuk bergurau di arena publik: medan bapaneh dan dendang lapau lainnya di Minang. Artinyanya bailau itu banyak ragamnya dan fungsinya³. Kalau dalam kaitan dengan penyadaran predator seperti harimau atau buaya yang bersalah, maka berilau artinya bernyanyi dan meratap, mulai dari memanggil harimau atau buaya bersalah itu, sampai aksi meratap-ratap sambil menari-nari di depan harimau dan buaya yang sudah masuk sendiri ke kandang disediakan Tunganai sebagai perangkap untuk mengamankannya. Dalam upacara ilau harimau itu tidak boleh dilukai dan dibunuh.

Dalam alek “bailau” itu berperan Tunganai itu. Ia seorang pandai lelaki dan atau seorang padusi (perempuan bersuami). Tunganai itu mahir bersastra lisan. Dalam konteks memanggil harimau bersastra lisan itu disebut dengan “bailau” itu. Ada kawasan kampung dan nagari yang pandai bailau dan meratap. Di Pesisir Selatan terkenal di ratap dan ilau Bayang. Ratapnya mirip “ratap” Suayan, Akabiluru, 50 Kota. Sastra ratap itu dulu ditradisikan masyarakat tradisonal, dan tukang ratap – seperti tunganai itu, laku dijemput-bayar dan terkenal, terutama untuk meratapi orang yang dikasihi wafat. Demikian pula Tunganai, pandai bersastra lisan mirip ratap dalam upacara “bailau memanggil harimau” yang bersalah. Harimau dipanggil bukan untuk dilukai apa lagi dibunuh tetapi untuk penyadarannya “besok jangan salah lagi”. Setelah sadar dihelatkan pula untuk melepasnya ke hutan dan atau ke tempat khusus yang kalau sekarang “kebun binatang”.

Proses tradisi alek “bailau memanggail harimau” bersalah dan alek “bailau melepas harimau” yang sudah disadarkan kesalahannya, cukup menarik dan sakral. Proses, pertama orang kampung atas arahan Tunganai, mencari kayu untuk membangun “kandang harimau”. Jenis kayunya yang berteras kuat: kayu kalek, meranti, madang dan laban lainnya. Kandang dikasih tiang-tiang termasuk tiang tengah yang ditancap dalam.

Baca Juga :  DTW Pesisir Selatan, Historis dari Zona Utama Mandeh Resort

Kandang siap, dikasih umpan adakalanya kambing. Lalu diselenggarakan alek bailau. Ramai dihadiri rang kampung. Tidak beberapa lama, malamnya “harimau yang diilaukan itu” masuk kandang, dengan sendirinya menyerah.

Peristiwa harimau masuk kandang umpan kambing itu, terakhir menjelang pertengahan Juli 2011 terjadi di Nagari Kapalo Hilalang, Kecamatan 2×11 Kayu Tanam, yang kandangnya di antara Bukit Tambun Tulang dan Gunung Tandikek.

Saat harimau masuk kandang di beberapa kampung, pada waktu itulah dialekan dengan unik dan sakral dalam pengarus magis sastra lisan Tunganai bailau, menyadarkan harimau yang bersalah itu. Bailau sambil menari-nari di depan harimau di kandang.

Bentuk sastra lisan sering disebut “maratap”, campuran puisi dan prosa liris. Ada gaya bersyair cara berdendang dan meratap, menjujai, berpantun petata petitih, penuh gurau (canda) lalu batintin – membatin-batin untuk penyadaran kesalahan. Harimau itu diam dan menunduk. Tidak berani melihat orang berilau sambil menari-nari di depannya. Seolah malu telah melakukan kesalahan. Menandai harimau itu punya instink “bakamula” – tahu salah benar. Setelah selesai “bailau”, pada saatnya harimau itu, dilepas kembali ke rumah – habitatnya hutan dan atau dibawa ke rumah khususnya yang sekarang disebut “kebun binatang”.

Banyak pengalaman orang Minang memperlakukan harimau, dengan cara tidak melukai dan membunuh. Pengalaman dengan dunia harimau, memperkaya kearifan orang Minang membaca tanda-tanda alam. Tidak saja berupaya memahami bahasa harimau dan binatang lainnya, pada umumnya menguasai bahasa alam. Nyaris bahasa Minang itu dominan disksi alam. Sehingga disebut, tidak orang Minang namanya kalau bahasanya “dua belas pas”, verbal. Bahasa orang Minang memakai diksi alam, termasuk memakasi disksi harimau sebagai kata yang sarat konsep dalam kehidupan orang Minang.

Diksi Harimau, Kearifan Minang

Harimau dalam kosep “kata alam” Minang, beda dengan Singa. Harimau kawan, Singa lawan. Perbedaan budaya itu terdapat titik sama dengan budaya Barat. Mempengaruhi persepsi estetika. Memandang harimau beda dengan memandang singa. Ada bedanya sedikit. Singa yang bebulu acak-acakan diagungkan di Barat sebagai simbol kekuatan dan keberanian. Namun di timur terutama di Minang, malah harimau yang diagungkan, diakui sebagai raja “raja hutan”. Justru harimau relatif bersih dan “belang teratur” memilik aura sang raja. Sumber keberanian dan tahu salah bana (tahu mana yang salah dan mana yang benar).

“Harimau” menjadi kata dan disksi orang Minang, sarat makna. Dipakai dalam majaz dan menjadi diksi dalam banyak petatah (aturan penataan) dan petiti (petunjuk pelaksanaan). Di antara petata dan petiti Minang dapat dilihat dalam beberapa wacana text dan wacana talk dalam berbagai pernyataan berikut:

a. Harimau disegani karena belangnya

Kata Harimau menjadi Simbol Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Belang harimau simbol pemberdayaan “aspek penyadaran” masyarakat budaya – adat Minang dalam mengembalikan potensi dirinya yang kuat yang sementara tak disadari. Orang tidak berdaya maskipun ia mempunyai potensi kekuatan sering diibarat, “harimau tak tahu dengan belangnya”. Situasional orang seperti ini perlu penyadaran dalam kerangka pemberdayaan. Penyadarkan mereka kembali bahwa mereka mempunyai potensi dan kekuatan. Munculkan kesadarannya bahwa ia kuat. Sehingga dengan sadar kekuatannya, ia disegaini. Ibarat “harimau disegani karena belangnya”.

b. Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan jasa

Untuk memotivasi mempersiapkan “mati berjasa”, kata harimau diambilan orang Minang menjadi konsep majaz perbandingan. Memperlihatkan harimau disegani dan tidak berubah terletak pada belangnya. Karakter besar orang Minang tidak berubah, ialah kemauan hidup – matinya meninggalkan warisan, sako pusako, adat, dan “meninggalkan jasa” lainnya. Petitih Minang mengiaskan:

Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan jasa

c. Kandang Harimau Pangian

Hariman Jadi Sanksi Hukuman Mati dalam Kanun Minang. Hukum kanun yang berlaku di Minang, pernah harimau dijadikan sanksi hukuman mati. Dibuatkan kandang Harimau, seperti di Pangian – Lintau. Orang yang dihukum mati, tidak mati kena golok, tak mati kerena digantung. Lalu dimasukan ke kandang harimau di Pangian itu, uji tangguh dengan harimau (Pernah diseminarkan SAKO dan Pemerintahan Nagari Pangian, 4 Desember 2023).

Baca Juga :  Manapek ke Kaum Malayu Koto Tuo, Pendiri RS Bunda Resmi Menjadi Orang Minangkabau

Eksekusi di Kandang Harimau di Pangian, merupakan pelaksanaan putusan peradilan adat yang melibatkan setidaknya wilayah adat subkultur 4 Koto. Empat Koto itu adalah Nagari Pangian, Nagari Buo, Nagari Taluk dan Nagari Tigo Jangko yang sekarang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Lintau Buo.

Yang dieksekusi di kandang harimau, adalah proses terakhir. Di kandang, dinanti harimau jago. Singkat kata, terjadi perkelahian hebat dengan harimau dalam Kandang Harimau Pangian itu. Narapidana yang terhukum berkelahi hebat, pertarungan hidup mati. Hampir-hampir mengalahkan harimau dikandangkan itu. Namun tiba saatnya, sama-sama letih. Narapidana pendekar tertidur karena letih. Sedang tidur itu, bibir sang pendekar, dijilat-jilat harimau. Rupanya seleranya beracun. Narapidana yang di kandang harimau itu tak sempat menangkal racun, dan mati”.

d. Mulutmu harimaumu, akan menerkam kepalamu

Peringatan untuk tidak brmulut besar. Orang Minang diingatkan juga tak asal bicara. Biasa dalam persidangan adat, sudah diberi kesempatan bicara baru bicara. Ia mendengar dulu baik. Menangkap tali pangkalnya, menangkap isi kata ujungnya. Ia tidak akan bicara sebelum diberi kesempat bicara. Tidak ada main potong dalam musyawarah, dengar dulu baik-baik. Inti menjaga kepastian arah bicara. Jaga mulut, tak bicara besar. Mulut besar bisa meledak sewaktu-waktu di wajah sendiri. Kata Pepatah: Mulutmu harimaumu, akan menerkam kepalamu.

e. Walaupun harimau dalam perut, Kambing dikeluarkan.

Amat diplomat. Kata harimau menaruh konsep diplomasi. Seorang diplomat, meski pun marah tetap pandai tersenyum. Orang Minang memakai kata harimau, mengesankan seorang diplomat. Padai berdiplomasi. Walapun marah, tidak menegasan merah di wajah. Walau marah, ibarat harimau mau menerkan orang, tetapi dengan segala kebesaran jiwanya ia tetap bisa tersenyum dan wajah berseri. Dalam pepatah dikatakan:

Walaupun harimau dalam perut
Kambing dikeluarkan.

Kearifan Minang seperti ini, sisi lain dari terjemahan ayat: idfa’ billati hiya ahsan (tolaklah kejahatan dengan kebaikan). Walau pun harimau dalam perut, kambing dikeluarkan. Konsep kata harimau ini muncul, karena kedekatan orang Minang dulu dengan alam termasuk satwa liar harimau. Orang dulu pandai mensahabati binatang buas seperti harimau ini. Membuat mereka mampu menyimak makna dengan kata alam harimau.

d. Dari pada Ditangkok Ragu, Ancak Ditangkok Harimau

Karenanya tadi disebut orang Minang tak takut dengan harimau. Malah orang Minang lebih takut dengan “keragua-raguan”, yang di dalam syara’ (Islam) sebagai sandi adat, yang “ragu-ragu harus ditinggalkan”, jangan dipakai. Petitinya “dari pado ditangkok ragu, ancak ditangkok harimau” (dari pada ditangkap ragu, lebih baik ditangkap harimau”. Harimau itu simbol raja, tegas, tetapi punya “kamula” (tahu juga yang salah, tunduk kepada yang benar). Di Minang makanya disuruh “bakato di nan bana”. Harimau tahu, kalau ia salah, ia menyerah. Tidak perlu dicari dan diburu, ia akan menyerahkan diri. Tinggal Tunganainya saja lagi yang memerangkapnya dan menghukumnya.
Sifat ragu-ragu, tidak masuk karakter terpuji. Ragu-ragu bagian sikap pengecut. Tak ada pada watak orang Minang. Mereka mementingkan ketetapan hati, tegas dengan keputusan, berani bertindak menentukan kepastian arah hidup. Berani menjatuhkan pilihan, justru hidup itu pilihan. Keteguhan hati penting. Ibarat harimau memiliki sikap hidup berani dan tegas. Berani “Bajalan di nan luruih”, artinya berjalan pada jalan lurus, tak neko-neko dan karaoke – kiri kanan oke.

Baca Juga :  Hijrah, Gerakan Inovatif Jihad Mencari Rahmat Allah Memakmurkan Masjid dan Perkuat Tali Rahim

e. Bak Manggadangkan Anak Ula, Umpamo Mamaliharo Anak Harimau

Konsep kata mengandung majz dan kias. Orang Minang dengan kearifan alamnya, tetap waspada dini dan deteksi dini. Petitinya: malam didengar-dengar, siang bacaliak-caliak. Artinya Waktu malam buka telinga, waktu siang buka mata. Tahu dek rangting ka mancucuk (tahu dengan ranting akan menusuk). Tahu cara membesarkan anak ular dan atau membesarkan anak harimau. Menatang bahaya. Namun waspada dini mulai menangkal bahaya terhadap yang akan menciderai dirinya. Bahaya itu dihadang, mengubah jadi peluang, etapi tetap mawas diri. Lihat pepatahnya, betapa menghadang bahaya. Dan, mengingatkan orang yang dibesarkan jangan tak membalas guna, malah membahayakan. Pepatahnya: “Bak manggadangkan anak ula, umpamo mamaliharo anak harimau” (ibarat membesarkan anak ular, ibarat memelihar anak harimau). Tuan yang membesarkan menantang bahaya, kecil disayangi besar tak balas budi, malah memakai bapak dan mandeh sendiri. Peringatan kepada orang yang sudah dibesarkan dan menikmati jasa orang yang membesarkannya jangan sampai tak membalas guna. Jangan budi baik dibalas dengan kejahatan. Jangan air susu dibalas tuba. Jangan lupa kacang dek kulitnya.

f. Harimau Campo

Kata Harimau dipakai orang Minang untuk menentukan ciri daerah. Agam dicirikan dengan “Harimau Campo”.

Menggambarkan orangnya kesatria sesuai warna benderanya merah. Sosok harimau campo ini dalam pepatahnya:

harimau Campo harimau lia
pandai mancakam jo malompek
bijak bajalan di nan kalam
aia janiah ikannyo lia
lia nan indak namuah dapek

(harimau campo harimau liar
Pandai mencengram dengan melompat
Bijak berjalan di yang kelam
Air jernih ikannya liar
Liar yang tidak mau ditangkap)

Sosok “Harimau Campo” menggambarkan karakter daerah. Simbol bijak biopari (cerdik) dan jauhari (cendekia). Berjalan penuh perhitungan sehingga tetap di nan lurus. Tak gampang tertipu karena cerdas dan tegas.

Tak mungkin berlaku, harimau di kurung, kambing di lepas. Orang cerdik dibungkem dan ruwaibiḍah (tak cerdas) dilepas, dibiarkan bicara mengenai urusan publik yang tak ia mengerti sama sekali. Bagian proteksi lahirnya fenomena ruwaibiḍah ini seperti disebut dalam hadis Ibnu Majah disahihkan Al-Bani dalam as-Syamilah 1887.

Kata Tutup

Harimau Sumatera bukan sekadar satwa predator liar indah dan menaruh magis, juga dihormati dan disahabati orang dulu. Bahkan punya nilai lebih, sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan hayati Indonesia. Sejatinya harimau juga dipandang makhluk Allah SWT yang sama pentingnya dengan manusia itu sendiri bagi keseimbangan dan keselarasan alam. Karenanya, kalau manusia mendapat perlindungan, kenapa harimau tidak.
Menyelamatkan Harimau, berarti tidak saja bagian pelestarian warisan alam untuk generasi mendatang, tetapi juga pertimbangan keselarasan alam. Dari pandangan kosmologis Minang ATJG, maka orang Minang tetap mempertahankan perinsip, harimau tidak boleh dilukai dan dibunuh serta diganggu habitatnya hutan.

Penghargaan besar masyarakat diberikan atas dukungan pemerintah dan pasilitasi regulasi, lembaga konservasi dan kesadaran masyarakat, memberi kesempatan harimau Sumatera masih tetap memiliki harapan untuk tetap berlari bebas di hutan-hutan Sumatera. Semuanya itu bagian keselarasan alam yang sangat berharga. Biarkanlah terpelihara perinsip konservasi alam masyarakat itu, dan kata harimau bagi orang Minang tetap menjadi konsep dan pengayaan falsafat hidup mereka. Tidak hanya harimau menjadi konsep kata, juga dengan nilai kearifan lokal Minangkabau sebagai benteng terakhir penguatan semua regulasi dan perubahan, harimau pernah dipakai sebagai filosofi sanksi hukuman mati dalam penerapan hukum “Kanun Minangkabau dulu”, bagi pelanggar norma dan hukum adat – syara’.**

Padang, 28 Agustus 2025
Yulizal Yunus

 


³Lebih lanjut baik dibaca, Sastri Sunarti, 2020, Dengan Bailau Memanggil Harimau, Tradisi Lisan Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Jakarta: LIPI Press

 

Follow WhatsApp Channel m.bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Manapek ke Kaum Malayu Koto Tuo, Pendiri RS Bunda Resmi Menjadi Orang Minangkabau
Ahda Yanuar Dilewakan Sebagai Rajo Sutan Kaum Sikumbang, Tekankan Pentingnya Adat Sebagai Benteng Moral
DPP PKPS Sampaikan Selamat atas Palewaan Basamo di Nagari Kambang
DPP PKPS Sampaikan Selamat atas Dilewakannya Prof Ermanto sebagai Datuak Rajo Malenggang
Prof Ermanto Akan Dilewakan jadi Datuak, DPP PKPS Sampaikan Ucapan Selamat
Akhiruddin Dilewakan jadi Datuak Rajo Mudo, DPP PKPS Ucapkan Selamat
Hendrajoni Hadiri Pengukuhan 13 Datuak di Surantih
Rang Batang Kape Baralek Gadang di Tanah Rantau

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 16:42 WIB

Manapek ke Kaum Malayu Koto Tuo, Pendiri RS Bunda Resmi Menjadi Orang Minangkabau

Senin, 29 September 2025 - 23:07 WIB

Ahda Yanuar Dilewakan Sebagai Rajo Sutan Kaum Sikumbang, Tekankan Pentingnya Adat Sebagai Benteng Moral

Senin, 29 September 2025 - 10:01 WIB

DPP PKPS Sampaikan Selamat atas Palewaan Basamo di Nagari Kambang

Minggu, 28 September 2025 - 18:31 WIB

DPP PKPS Sampaikan Selamat atas Dilewakannya Prof Ermanto sebagai Datuak Rajo Malenggang

Selasa, 23 September 2025 - 20:00 WIB

Prof Ermanto Akan Dilewakan jadi Datuak, DPP PKPS Sampaikan Ucapan Selamat

Berita Terbaru

UE tenggelam dalam korupsi - Orban - RakyatPos.id

Nasional

UE tenggelam dalam korupsi – Orban – BANDASAPULUAH.COM

Sabtu, 6 Des 2025 - 05:08 WIB

Aceh Diguncang 25 Kali Gempa dalam Seminggu

Nasional

Aceh Diguncang 25 Kali Gempa dalam Seminggu

Sabtu, 6 Des 2025 - 04:05 WIB