BANDASAPULUAH.COM — Gelombang penolakan terhadap implementasi Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) terus bergulir di Sumatera Barat.
Sebanyak 15 tokoh dan pimpinan lembaga adat, keagamaan, akademisi, serta aktivis hukum dan kebudayaan menyampaikan pernyataan sikap resmi pada Rabu, 14 Mei 2025. Pernyataan tersebut menyoroti potensi dampak negatif dari opsi pendaftaran tanah ulayat sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.
Dalam pernyataan sikap itu, mereka menyatakan apresiasi terhadap semangat pemerintah melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan upaya perlindungan tanah ulayat yang dilakukan melalui Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun mereka menolak keras opsi pendaftaran tanah ulayat yang berujung sertifikat, baik dalam bentuk sertifikat hak pengelolaan (HPL) maupun hak milik bersama lainnya selain pemilik ulayat.
“Tanah ulayat adalah pusaka tinggi dalam sistem adat Minangkabau. Pendaftaran hak milik atau pengelolaan justru membuka celah besar terjadinya pergeseran fungsi dan status tanah ulayat, yang dapat menyebabkan lepasnya kepemilikan dari kaum adat,” demikian isi pernyataan tersebut.
Pernyataan itu juga menegaskan bahwa antara sako dan pusako adalah satu kesatuan, yang jika salah satu tergeser atau hilang, maka eksistensi masyarakat adat Minangkabau terancam. “Jika pusako tergadai, maka sako seperti gelar adat tidak bisa lagi ditegakkan. Ini adalah bentuk kerusakan struktural masyarakat Minangkabau,” tegas mereka.
Dalam konteks penyelenggaraan administrasi pertanahan, para tokoh ini mendukung pemerintah untuk melakukan inventarisasi, pemetaan, dan pencatatan tanah ulayat, namun menolak skema pendaftaran sebagai hak milik atau pengelolaan bersama yang membuka kemungkinan pengalihan.
Mereka juga mengingatkan bahwa perlindungan hak MHA di Sumbar harus dilakukan bersama Limbago Nagari, yang berjumlah 544 nagari asal menurut Perda Nomor 7 Tahun 2018. “Pelaksanaan harus dijalankan berdasarkan Tali Tigo Sapilin: hukum adat, hukum syarak, dan hukum negara, serta oleh tungku tigo sajarangan: penghulu, ulama, dan cadiak pandai,” ujar mereka.
Tokoh-tokoh yang menandatangani pernyataan sikap antara lain:
- Hanafi Zein, Ketua Umum Yayasan SAKO Anak Negeri Sumatera Barat
- Yulizal Yunus, Sekretaris Pusat Kebudayaan Minangkabau
- Basrizal Dt. Pangulu Basa, Ketua Bakor KAN Sumbar
- Sheiful Yazan Tuanku Mangkudum, Sekretaris Umum Majelis Adat Minangkabau
- Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI Sumbar
- Samaratul Fuad, Advokat PBHI
- Wendra Yurnaldi, Dekan Fakultas Hukum UM Sumbar
- Azwar Siri, Ketua DPP LAKAM
- Nashrian Bahzien, Ketua Yayasan PUSAKO
- Taufikurrahman, Ketua Pusat Kajian Islam dan Adat UIN Imam Bonjol
- Danil Mahmud Chaniago, Direktur The Indonesian Heritage Centre
- Saharman Dt. Manggung Nan Kayo, Sekretaris Pusat Kajian Adat dan Syara’ STAI YASTIS
- Chairullah, Ketua Lembaga SULUAH
- Viveri Yudi, Direktur Lapau Mak Kari
- Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang
Mereka meminta pemerintah pusat untuk bijaksana dalam memahami kekhasan MHA, terutama masyarakat adat Minangkabau yang memegang teguh filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
“Jika Nagari hilang, maka lenyaplah Minangkabau,” tutup mereka dalam pernyataan penuh kecintaan terhadap warisan adat dan budaya Minangkabau tersebut.
Secara internal perkumpulan organisasi adat, tak ada hak satupun organisasi adat yang menyatakan setuju yang mengklaim atas nama ninik mamak Sumatera barat, kerena ulayat tidak milik organisasi adat tetapi pemiliknya limbago penghulu suku dan atau milik pengulu nagari.