OLEH: AHMADIE THAHA
ADA suatu masa ketika hukum negara ini berdiri setinggi tiang bendera setiap Senin pagi: lurus, kaku, dan sedikit tegang. Namun saat ini, undang-undang kita lebih terlihat seperti karet gelang – dapat ditarik ke mana saja, dipelintir secukupnya, dan kemudian diklaim tetap utuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak pecah meski ditarik kemana-mana, kata mereka. Fleksibel saja. Dan dalam fleksibilitas itu, kita menyaksikan satu per satu keputusan konstitusi diuji bukan oleh pengadilan, namun oleh kreativitas birokrasi.
Yusril Ihza Mahendra, dengan ketenangan seorang profesor yang asyik berdebat tentang konstitusi, baru-baru ini menyimpulkan sesuatu yang pahit namun jujur, yaitu bahwa hukum Indonesia seringkali tidak konsisten.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurut undang-undang bersifat final dan mengikat, dalam praktiknya seringkali dianggap seperti rekomendasi seminar, bisa diikuti atau tidak, tergantung mood dan kepentingannya.
Pernyataan tersebut belum menjadi kutipan tetap pada slide kuliah hukum tata negara, tiba-tiba Kepolisian Republik Indonesia (Polri) datang memberikan contoh empiris dengan terbitnya Peraturan Polisi Nomor 10 Tahun 2025.
Jika ini sebuah film, kami akan menyebutnya alur cerita. Kalau ini sinetron, penonton pasti berteriak, “Lho, kok bisa?” Namun karena ini negara hukum, para ahli ramai membahasnya, sementara masyarakat hanya bisa menghela nafas panjang.
Yang membuat cerita ini semakin ironis adalah konteks waktunya. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie – sebuah nama yang bagi mahasiswa hukum lebih sakral dibandingkan daftar pustaka skripsi.
Komisi ini dibentuk untuk membenahi Polri: mulai dari regulasi, kelembagaan, hingga kebudayaan. Singkat kata, Polri sedang memasuki workshop besar nasional. Namun, sebelum mesin Polri dibongkar dan diperiksa bagian-bagiannya, terdengar suara mesin yang dipaksa melaju kencang dari dalam bengkel.
Kapolri menandatangani Perpol 10/2025, sebuah peraturan yang secara langsung dan tanpa basa-basi disebut oleh Harian Kompas sebagai “pembangkangan konstitusi.” Ini bukan istilah sembarangan. Ini tuduhan yang serius: bahwa suatu peraturan internal suatu lembaga negara bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Permasalahannya bukan hal yang sepele. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah menyatakan frasa dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri – yang berbunyi: “atau tidak berdasarkan penugasan Kapolri” – bertentangan dengan UUD 1945.
MK memangkas frasa tersebut dalam putusan terbarunya, mencoretnya, dan secara hukum menyatakan mati. Artinya pasal tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam istilah medis, akta kematian sudah diterbitkan.
Namun di republik yang penuh kejutan ini, kematian hukum sering kali bersifat administratif, bukan eksistensial. Ungkapan mati ini sebenarnya sudah menjadi landasan hidup Perpol 10/2025. MK seolah-olah hanya memberikan cuti sakit, bukan putusan final.
Jadi, berbekal keputusan tersebut, anggota Polri yang masih aktif atau aktif kembali diberikan kesempatan menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, di 17 kementerian dan lembaga negara, baik jabatan manajerial maupun non manajerial.
Tujuhbelas! Angka yang mengesankan. Hampir seperti daftar fakultas di universitas besar. Mulai dari urusan politik-keamanan, energi, hukum, kehutanan, kelautan, perhubungan, hingga lembaga super strategis seperti OJK, PPATK, BIN, BSSN, bahkan KPK.
Negara ini tiba-tiba terasa seperti papan catur raksasa, dan petugas polisi dapat bergerak di banyak tempat. Sedangkan bagian lainnya – ASN karir – hanya bisa menonton dari garis start. Tak heran, mulai dari Jimly hingga Mahfud MD, mereka kesal dengan aturan politik tersebut.
Bahkan, Zennis Helen, dosen hukum tata negara yang tak setenar Yusril, datang membawa pisau analisis yang tajam namun dingin. Ia mengingatkan kita pada sesuatu yang patut menjadi pelajaran mendasar: prinsip penilaian norma.
Ia mengutip Hans Kelsen yang mengajarkannya hampir seabad yang lalu melalui Teori Stufenbau. Norma hukum itu bersifat bertingkat. Yang rendah tidak boleh menentang yang tinggi. Jika dia menolak, dia akan jatuh sendiri.
Dalam bahasa latin yang sering membuat siswa mengangguk sambil berpura-pura mengerti adalah lex superior derogat legi inferiori. Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Ini bukan sekedar etika hukum. Inilah struktur logis dari negara hukum.
Memang benar, Perpol yang diterbitkan Kapolri tidak masuk dalam hierarki pokok Pasal 7 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tapi itu masih aturan. Dia masih bersenang-senang. Itu tetap tunduk pada prinsip penilaian norma.
Peraturan politik tersebut tidak ada secara liar, apalagi di luar konstitusi. Jadi ketika Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK, maka yang terjadi bukanlah perbedaan penafsiran biasa, melainkan anomali hukum.
Keanehan ini semakin terasa janggal karena pasca putusan Mahkamah Konstitusi, Polri memecat salah satu perwira tingginya dari jabatan sipil. Masyarakat melihat hal ini sebagai wujud ketaatan yang awalnya terkesan manis.
Namun nyatanya, itu hanya pemanis saja. Dengan adanya Perpol ini, para anggota aktif Polri justru merasa berhak untuk tinggal dengan nyaman di berbagai kementerian dan lembaga. Bahkan, posisi mereka kini telah dilegitimasi kembali melalui regulasi politik baru.
Jadi, penarikan diri itu tampak seperti formalitas: cukup untuk disebut patuh, namun tidak cukup untuk benar-benar patuh.
Dampaknya tidak berhenti pada persoalan legalitas saja. Hal ini menembus hingga ke jantung pemerintahan negara. Sistem meritokrasi ASN – yang selama ini didorong keras agar birokrasi diisi kompetensi, bukan koneksi – terancam hanya menjadi jargon kosong.
ASN yang puluhan tahun berkarir, mengikuti pelatihan, menunggu promosi, bisa tersalip dengan penugasan berseragam coklat. Meritokrasi telah berubah menjadi hiasan, indah dalam dokumen, rapuh dalam praktik.
Dari sudut pandang sosiologi birokrasi, hal ini berbahaya. Hal ini menghancurkan budaya kerja, mematahkan motivasi, dan menciptakan kasta implisit dalam birokrasi.
Negara demokrasi yang sudah mapan sangat berhati-hati dalam hal ini. Inggris memisahkan polisi dari posisi birokrasi sipil yang strategis. Amerika Serikat dengan segala kekuatannya terus menjaga jarak institusional agar aparat penegak hukum tidak menjadi perpanjangan tangan kekuasaan administratif.
Polri sepertinya memilih jalan berbeda, yakni memperluas ruang, lalu berharap konflik kepentingan bisa diatasi dengan surat transfer.
Faktanya, solusi konstitusional sudah tersedia. Zennis Helen menyebutkan dua jalur. Pertama, dialog administratif melalui Komisi Percepatan Reformasi Polri. Komisi ini sebenarnya mempunyai legitimasi moral dan politik untuk mengingatkan pimpinan Polri bahwa reformasi bukan sekedar slogan.
Kedua, menguji keabsahan Perpol tersebut ke Mahkamah Agung. Karena Perpol itu peraturan, maka MA jadi rumah ujinya.
Kedua jalur ini tidaklah instan. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran. Namun supremasi hukum tidak dibangun dengan jalan pintas. Hal ini dibangun atas dasar kepatuhan terhadap prosedur, bahkan ketika prosedur tersebut terasa tidak nyaman.
Di titik inilah pernyataan Yusril Ihza Mahendra menemukan sisi terangnya. Inkonsistensi hukum bukan lagi menjadi wacana akademis, melainkan pengalaman sehari-hari warga negara.
Ketika putusan Mahkamah Konstitusi dapat “dielakkan” melalui peraturan internal, maka istilah “final dan mengikat” berubah dari norma menjadi retorika. Dan ketika hal ini terjadi berulang kali, kepercayaan masyarakat perlahan-lahan terkikis – bukan hanya karena satu skandal besar, namun karena kebiasaan-kebiasaan kecil yang dianggap remeh.
Negara-negara tidak selalu runtuh karena kudeta berdarah. Terkadang ia melemah karena terlalu sering menoleransi penyimpangan kecil. Putusan yang dibelokkan. Norma yang dinegosiasikan. Konstitusi diperlakukan sebagai sebuah saran, bukan sebuah perintah.
Mungkin inilah paradoks terbesar kita saat ini. Reformasi Polri bertujuan untuk membenahi institusi, namun justru diuji dengan regulasi dari dalam. Ibarat orang yang mau diet serius, tapi kulkasnya penuh kue ulang tahun.
Dan masyarakat yang menyaksikan itu semua hanya bisa bertanya dengan logika yang paling sederhana – logika yang bahkan tidak memerlukan jabatan guru besar: jika putusan MK bisa diperlakukan seperti ini, lalu apa yang benar-benar final di negeri ini?
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.





