BANDASAPULUAH.COM – Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman menyampaikan refleksi kritis terhadap pelaksanaan tanggap darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Tahap I pada periode 28 November-11 Desember 2025.
Mantan Sekretaris Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias ini menilai, di masa darurat 14 hari ini, kehadiran negara bagi masyarakat Aceh hampir tidak terlihat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut pria yang akrab disapa Ampon Man ini, jutaan masyarakat Aceh hidup dalam kondisi seperti “kembali ke zaman dahulu” akibat lumpuhnya jaringan listrik dan telekomunikasi selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Peralatan pokok masyarakat mulai dari gadget, komputer, mesin cuci, televisi, AC, hingga kulkas tidak bisa digunakan, ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (14/12/2025).
Kondisi tersebut, kata dia, tidak hanya dirasakan di wilayah terdampak langsung, namun juga di wilayah yang relatif tidak terdampak seperti Banda Aceh, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Kelangkaan bahan bakar minyak dan LPG memperburuk keadaan.
Dampaknya meluas, memukul industri rumah tangga dan UMKM, serta memicu lonjakan harga kebutuhan pokok akibat terhambatnya distribusi. Ampon Man memperkirakan total penduduk yang terkena dampak situasi ini mencapai 5-6 juta jiwa di seluruh Aceh.
Ia menyoroti terbatasnya kapasitas lembaga dan organisasi pemerintah dalam penanganan bencana. Ampon Man menilai keandalan dan kualifikasi pekerja kemanusiaan di unit penyelamatan negara tampaknya belum memadai.
“Beberapa unit penyelamat sebenarnya terlihat seperti petugas kantor, bukan tim tanggap darurat,” katanya.
Di sejumlah daerah terpencil, kata Ampon Man, para korban bencana terpaksa bertahan hidup dengan apa pun yang ada karena sembako sulit didapat berhari-hari. Ada yang harus menempuh perjalanan puluhan kilometer, bahkan berhari-hari, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya. Isolasi yang berkepanjangan ini juga berdampak pada lambatnya pencarian dan evakuasi korban yang masih bisa diselamatkan atau ditemukan.
Ia membandingkan penanganan kali ini dengan respons masif saat bencana tsunami tahun 2004 lalu. Menurut Ampon Man, tidak terlihat adanya pengerahan logistik skala besar melalui udara ke daerah-daerah terpencil, seperti yang terjadi pada saat terjadi tsunami, dimana pendistribusian bantuan pangan dilakukan secara luas tanpa ada perhitungan lain selain menyelamatkan nyawa manusia.
Begitu pula dengan pengerahan komponen cadangan negara untuk pencarian dan penyelamatan korban secara masif di darat, sungai, dan laut, termasuk potensi korban yang tertimbun lumpur, tidak terlihat, katanya sambil merujuk pada perbandingan penanganan bencana tsunami dan hidrometeorologi atau Siklon Senyar 25.
Permasalahan juga terjadi pada sektor komunikasi. Ampon Man menilai jaringan telekomunikasi yang seharusnya mandiri dengan genset atau baterai cadangan justru lumpuh akibat kekurangan listrik dan bahan bakar. Akibatnya komunikasi dan arus informasi hampir seluruh wilayah Aceh terganggu, kecuali di lokasi yang sudah menggunakan perangkat komunikasi satelit seperti Starlink.
Di bidang ketenagalistrikan, PT PLN dinilai masih menerapkan mekanisme perbaikan pascabencana seperti kondisi normal yang membutuhkan waktu cukup lama. Bahkan, meski disebut-sebut telah mengerahkan puluhan ribu teknisi dari berbagai daerah, Ampon Man tidak melihat adanya tanggap darurat berupa pengadaan generator listrik bagi kota-kota terdampak untuk menunjang aktivitas vital dan jalur komunikasi Aceh.
Kemudian, lanjutnya, pendistribusian BBM dan LPG oleh Pertamina baru berjalan lancar pada hari ke-10 masa tanggap darurat setelah sebelumnya terkendala masalah kuota.
Di tengah kritik tersebut, Ampon Man menyampaikan apresiasinya kepada Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog. Ia mengatakan, kedua lembaga tersebut memiliki stok pangan yang cukup dan siap mendistribusikannya kapan saja melalui posko bencana. Padahal, menurutnya, pemerintah pusat sudah menyetujui penambahan ribuan ton beras sesuai permintaan Pemerintah Aceh.
“Bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh, sikap meremehkan atau mengabaikan penyelamatan nyawa satu korban bencana sama saja dengan meremehkan nyawa 5-6 juta masyarakat Aceh,” kata Ampon Man.
Ia menilai Aceh seolah ditakdirkan untuk selalu berada dalam episode perjuangan, baik konflik antar umat manusia maupun menghadapi bencana alam dengan kemampuannya sendiri. Ampon Man mengingatkan, bencana tsunami tahun 2004 telah membuka jalan bagi perdamaian di Aceh setelah hampir 30 tahun konflik.
Dalam bencana hidrometeorologi ini, Ampon Man yakin ada rencana lain dari Tuhan untuk masyarakat Aceh.
“Allah SWT sebaik-baik perencana,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendorong Aceh untuk berani berdiri sendiri dengan segenap kekuatan masyarakat. “Kami meutaloe wareeh Aceh,” ujarnya.
Ampon Man juga mengutip pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang mengatakan bahwa harapan utama hanya berpijak pada rezeki dan pertolongan Allah SWT.
“Jika kita berharap pada manusia, kemungkinan besar kita akan kecewa. Pernyataan tersebut cukup menggambarkan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat Aceh di negeri ini,” tutupnya. ()
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.


Tertinggi hari ini" width="225" height="129" />



Tertinggi hari ini" width="129" height="85" />