Sudah waktunya rakyat menjadi algojo

Minggu, 7 Desember 2025 - 10:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sudah waktunya rakyat menjadi algojo

i

Sudah waktunya rakyat menjadi algojo

0oleh: Agus Wahid

IKLAN

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN

JAUH lebih dahsyat dari tsunami 26 Desember 2004 di pesisir semenanjung Aceh. Itulah banjir bandang yang secara bersamaan melanda sebagian wilayah Sumut, Sumbar, dan Aceh. Yang menjadi korban tidak hanya manusia dalam jumlah besar, namun juga pemukiman, infrastruktur jalan, fasilitas umum, dan keanekaragaman hayati lainnya, terutama satwa. Entah apa yang akan terjadi di masa depan akibat rusaknya ekosistem. Kali ini, banjir dengan magnitudo luar biasa melanda tiga wilayah di Sumatera.

Yang perlu kita catat, banjir yang terjadi di tengah tiga wilayah Sumatera itu tak lain hanyalah sebuah “pembantaian” (TSM) yang terstruktur, sistematis, dan masif. Diksi kata “pembantaian” tidak lepas dari tragedi banjir. Sebab, fakta berbicara nyata. Ratusan orang, tanpa memandang usia, jenis kelamin, etnis. Semuanya musnah tanpa ada rasa kemanusiaan. Hewan dan keanekaragaman hayati lainnya juga lenyap secara bersamaan. Benar-benar kehilangan makna ekologisnya, padahal umat manusia sangat membutuhkan air dan oksigen untuk menunjang kehidupannya.

Dari sudut pandang militer, pembantaian yang dilakukan oleh “tentara air” bukan sekadar pembersihan etnis, tetapi lebih dari itu. Dengan demikian, pembantaian alam semesta yang disengaja dan biadab patut dicatat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap hewan, dan kejahatan kosmologis. Dua jenis kejahatan terakhir ini mungkin belum dirumuskan dalam sistem hukum kita atau bahkan di dunia.

Namun jika kedua jenis kejahatan ini diabaikan, pasti akan mendapat balasan dari alam berupa panas tinggi, krisis air berkepanjangan, dan sejumlah krisis lingkungan lainnya. Mari kita lihat selanjutnya.

Dalam hal ini, setidaknya ada dua sanksi hukum berat. Yaitu hukum positif yang berlaku di negara tersebut. Jika negara enggan mengambil tindakan, maka sah saja masyarakat membawa kasusnya ke Mahkamah Hukum Internasional. Sasaran penerapan undang-undang yang keras ini tentu saja bukan alam yang sedang mengamuk, melainkan siapa perancangnya (pemegang konsesi dan pemberi izin) krisis ekologi.

Timbul pertanyaan mendasar, siapakah perancang krisis ekologi? Jika dicermati pergerakan penebangan hutan, setidaknya ada dua pelaku utama yaitu pemilik izin penebangan dan pemberi izin terkait konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Baca Juga :  Galaksi Terdekat Ini Menunjukkan Bagaimana Awan Beku Menyala Menjadi Bintang

Timbul pertanyaan mendasar, apakah mungkin rakyat kecil mampu melakukan deforestasi secara masif dan ekstensif, apalagi secara terstruktur? Penafian ini memicu analisis lain: para pemainnya pastinya adalah perusahaan besar. Jika kita menelaah penunjukan ini lebih detail, jawabannya menjadi lebih jelas: perusahaan-perusahaan besar bersekongkol dengan pemilik kebijakan.

Siapa pelaku korporasi besar dan pemilik kebijakan? Menurut data Kementerian Kehutanan antara lain Sinar Mas (Keluarga Wijaya) punya 4,4 juta ha di Sumatera, APP (pulp/HTI) punya 2,6 juta ha. Royal Golden Eagle – Sukanto Tanoyo seluas 2,6 juta ha. April (bubur kertas/HTI) 1,5 juta ha. Grup RGE lainnya berjumlah 1,1 juta. Salim Group melalui anak usahanya seperti London Sumatra (Lonsum) dan Salim Ivomas Pratama (SIMP) memiliki luas lahan 111.367 ha.

Menariknya, jumlah konsesi yang dikeluarkan Menteri Kehutanan MS Kaban (periode 2004-2009) adalah 589.273 ha. Pada masa Zulkifli Hasan luasnya mencapai 1.623.062 ha. Dan era Siti Nurbaya (2014-2024) lebih fokus pada penegakan hukum dan pencabutan izin konsesi bagi mereka yang tidak aktif atau bermasalah. Dari gerakan penguasaan tersebut, sisa hak pemanfaatan hutan pada era Siti Nurbaya berkisar antara 600-800 ha.

Dengan menelusuri data administrasi dan data di lapangan, sangat mudah untuk menunjuk dan menentukan siapa yang paling agresif dalam mengeluarkan izin konsesi. Pertanyaan mendasarnya adalah, beranikah negara mengambil tindakan hukum yang tegas (pidana dan perdata), bahkan secara politik terhadap pihak-pihak yang terlibat?

Banyak elemen masyarakat yang meragukannya. Sebab, pemilik HPH merupakan cukong yang sedikit banyak mempunyai hubungan istimewa dalam proses politik (menuju kekuasaan). Setidaknya, jika Presiden menyerahkan sepenuhnya kebebasan aparat penegak hukum, hal tersebut masih diragukan. Landasan ini tidak jauh dari potensi al-fulus. “Terjebak angin” di kalangan aparat penegak hukum kini sudah menjadi hal yang lumrah. Meski sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan, namun itulah kenyataannya. Sulit untuk membantahnya.

Nah, salah satu opsi yang kini dimaksimalkan oleh Prabowo adalah tragedi banjir nasional yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan jalan mulus untuk merombak sejumlah menteri terkait, khususnya orang-orang “termul”. Yang bertanggung jawab langsung adalah Menteri Kehutanan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Kedua Menteri ini bertanggung jawab langsung atas realita kerusakan parah kawasan kehutanan selama ini. Setidaknya kedua menteri ini lalai terhadap panorama lingkungan hidup yang kritis ini. Dan baru diketahui setelah banjir melanda, tanah ambruk, dan angin puting beliung mengamuk.

Baca Juga :  Bukan niat jahat, ada yang sudah beberapa hari tidak makan

Pertanyaannya, apakah Menteri yang saat ini menjabat hanya dua? Tidak. Mantan menteri (kehutanan dan ESDM) patut mendapat perhatian. Pasalnya, pembalakan hutan alam secara ilegal tidak hanya terjadi sejak awal Oktober 2024. Dengan menghitung mundur, kita mendapatkan data luasnya penebangan hutan pada masa MS Kaban, Zulkifli Hasan, dan Siti Nurbaya. Begitu pula dengan berapa banyak izin pengusahaan pertambangan yang dikeluarkan Menteri ESDM saat ini dan sejumlah mantan Menteri ESDM?

Bagaimana dengan kepala daerah yang memberikan “karpet merah” kepada pihak-pihak yang melakukan penebangan hutan, mulai dari Gubernur atau Bupati/Walikota? Siapapun yang berkonspirasi tidak bisa lepas dari sanksi politik. Presiden mempunyai hak prerogratif memberhentikan menteri. Jadi, DPRD juga berhak mendakwa kepala daerah yang bersekongkol.

Pesan politik penting yang dapat dicermati adalah siapapun sebagai penguasa tidak boleh gegabah dan pandai dalam mengeksploitasi kewenangannya. Penegakan hukum adalah menciptakan sikap good governance. Sehingga siapapun yang menerima amanah tidak serta merta menyalahgunakan kewenangannya.

Kembali ke pertanyaan besar, bersediakah negara memburu geng-geng swasta besar tersebut? Kita tidak bisa berharap banyak pada otoritas negara. Jadi? Di sinilah peran masyarakat. Bagi mereka yang menjadi korban kekerasan alam dan hal ini disebabkan oleh tindakan para penebang kayu yang masif dan sistematis, maka masyarakat harus berani menunjukkan keberaniannya sebagai “algojo”. Ratusan nyawa melayang dan jutaan orang yang menjadi korban harus memperhitungkan kejahatan yang menyebabkan alam mengamuk.

Nyawa yang hilang, kerugian materiil miliaran, bahkan kerugian immaterial triliunan, layak dibunuh oleh para pelaku kejahatan hutan kemasyarakatan. Di tengah penderitaan para korban, pemilik konsesi hidup mandiri sambil menikmati nikmatnya Singapura atau tempat lainnya. Jadi, tidak ada pilihan lain yang perlu ditetapkan secara tegas: penjahat alami harus dibantai dengan kejam.

Dalam hal ini ada dua opsi yang bisa diterapkan. Pertama, apa hukum tubuh (hidup untuk hidup). Dan siapapun yang keluarganya meninggal harus menuntut nyawa pemilik izin penebangan hutan. Kedua, tuntutan hukum perdata. Para korban menuntut ganti rugi, baik materil maupun immateriil, yang dapat diubah menjadi materil. Risiko bisnis ini harus ditanggung oleh pengusaha, bukan menunggu belas kasihan pemerintah. Ini adalah rasio bisnis yang adil. Kalau pemerintah tetap menanggungnya, berarti rakyat juga menanggungnya, padahal rakyatlah yang menjadi korban. Inilah rasio dan risiko bisnis yang belum pernah diteliti secara jelas.

Baca Juga :  Napi ini tak mau dibebaskan meski hukumannya sudah selesai, alasannya memilukan

Makna krusial dari kedua model sanksi ini adalah “life for life” atau ganti rugi materiil yang harus ditanggung oleh pemilik konsesi, sehingga secara konseptual akan terjadi self-braking dalam memandang sumber daya alam (SDA), yang ada di permukaan bumi atau apa yang dikandungnya. Jadi, jangan melihat dari sudut pandang eigenrichting (main hakim sendiri), tapi lihat manfaatnya ke depan.

Selama ini gagasan ganti rugi fisik dan materiil bagi para perusak alam belum diakui dalam sistem hukum positif kita. Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan revisi terhadap UU Kehutanan dan UU Minerba. Dalam revisi undang-undang, atas nama konstitusi, masyarakat harus diberikan payung hukum untuk menentukan pendirian hukumnya, di luar lembaga formal. Atas nama hukum adat atau hukum harkat dan martabat manusia.

Terakhir, banjir bandang yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh akhir-akhir ini harus menjadi refleksi yang konstruktif, sekaligus terobosan yang holistik. Untuk sama-sama menghormati sesama manusia (hablun minannaas) dan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup (hablun minal`aalam), di samping hubungannya dengan Allah SWT sebagai pencipta segala sesuatu (hablun minannaas), karena 15 abad yang lalu, Allah telah memperingatkan umat manusia sebagai “khalifah di muka bumi” untuk saling menjaga lingkungan hidup, sekaligus melarang keras kerusakan alam.

Semua itu untuk membangun keharmonisan antar makhluk Tuhan. Dan inilah konsep kehidupan yang aman dan tenteram antar makhluk-Nya yang dapat menjadi potensi membangun negara dan masyarakat yang sejahtera dan berkemajuan.

(Analis politik dan pembangunan)

Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.

Follow WhatsApp Channel m.bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Danau K’gari yang Terkenal di Dunia Mungkin Berisiko Mengering
Kepentingan Nasional: Beginilah rencana bodoh Jerman untuk melawan kebijakan Rusia
Prajurit Kodam IM Evakuasi Lansia di Bener Meriah
Terkait Rapat Paripurna, Gus Yahya menyinggung putusan Syuriyah yang bermasalah
Bom mobil di luar kantor polisi di Michoacan, Meksiko, menewaskan sedikitnya 3 | Berita Narkoba
Polda Banten Peringatkan Masyarakat Tentang Potensi Cuaca Berdasarkan Informasi BMKG –
Seleksi Sespimma Ketat: Empat Petugas Ikuti Tes Psikologi
Meluncurkan perjanjian untuk menghentikan dan mengkriminalisasi genosida Zionis di Jalur Gaza dan membawa pelakunya ke pengadilan

Berita Terkait

Minggu, 7 Desember 2025 - 19:24 WIB

Danau K’gari yang Terkenal di Dunia Mungkin Berisiko Mengering

Minggu, 7 Desember 2025 - 19:03 WIB

Kepentingan Nasional: Beginilah rencana bodoh Jerman untuk melawan kebijakan Rusia

Minggu, 7 Desember 2025 - 18:43 WIB

Prajurit Kodam IM Evakuasi Lansia di Bener Meriah

Minggu, 7 Desember 2025 - 18:20 WIB

Terkait Rapat Paripurna, Gus Yahya menyinggung putusan Syuriyah yang bermasalah

Minggu, 7 Desember 2025 - 18:00 WIB

Bom mobil di luar kantor polisi di Michoacan, Meksiko, menewaskan sedikitnya 3 | Berita Narkoba

Berita Terbaru

Prajurit Kodam IM Evakuasi Lansia di Bener Meriah

Nasional

Prajurit Kodam IM Evakuasi Lansia di Bener Meriah

Minggu, 7 Des 2025 - 18:43 WIB