Oleh: Yulizal Yunus¹
Visi Nagari rami alam lestari
lindungi hutan selamatkan harimau
seiring berdiri dan berlari
maraih masa depan tiada risau
Daftar Isi
Kata Buka
Orang Minang awalnya tidak mengenal nama Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Nama itu, pastilah dibawa dari luar, setidaknya disebut (1929) Reginald Innes Pocock dalam konteks mendiskripsikan kulit dan tengkorak. Yang dikenal dari awal disebut nama “harimau” saja sebagai binatang bernilai magis dan terhormat. Namun penamaannya itu, ada juga dilihat dari bentuk pisik dan sifatnya, ada dilihat dari alam – habitatnya, juga dari sisi bentuk serta warna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari bentuk dan warna, dikenal seperti harimau kumbang – hitam, harimau putih disebut ada di Rimbo Rao dan harimau warna jingga gelap loreng hitam – cantik, bentuk unik yang mungkin dimaksud Harimau Sumatera. Berhubungan dengan alam – habitatnya, maka tersebutlah Harimau Kampung, Harimau Agam disebut Harimau Campo² seperti disebut Undang Adat Limbago Minangkabau, seperti juga Harimau Laut di Bunta Nan Salapan.
Pada kearifan Adat-Budaya Minangkabau, satwa liar harimau dalam bentuk pisiknya, dikenal panjang – singkatnya, meskipun tak berlaku umum. Ada Harimau Panjang Sembilan, ada Harimau Panjang Tujuh dan ada Harimau Singkek (singkat). Jenis Harimau ini mungkin disebut Harimau Kampung. Di kampung saya Taluk Batang Kapas pernah dulu menjadi peliharaan oleh Inyiak Angku Gadang sebagai Tunganai. Tunganai mati, harimaunya pun tak terdengar lagi. Mungkin mati tak ada pengganti. “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa”. Kata “harimau” menjadi konsep dalam hidup orang Minang, yang sarat nilai falasafat hidup: “semestinya orang meninggalkan jasa”.
Harimau di Minang, ada dilihat dari pisik, sifat dan gejala psikologinya. Untuk pisik sekaligus sifat ini, dikenal Harimau Agam, Harimau Jadi-jadian dan Harimau Kampung. Inyiak Sukirman Dt Tambijo (Orang Tua Agam di Maninjau, 2024) pernah menjelaskan dalam diskusi terbatas. Harimau Agam itu seperti apa Inyiak? Inyiak Tambijo tak serius betul menjawab. Katanya, “khas” dan menjadi mitos pengukuhan identitas daerah di Minangkabau. Kita mulailah menjelaskan dari jenis harimau itu.
Pertama, Harimau Kampung. Jenis Harimau ini menjaga kampung. Awalnya (kasus cerita rakyat seperti di Taluk tadi) ia hadir di kampung, sejak harimau itu kalah bertarung dengan tetua di Kampung, lalu berjanji dan bersumpah akan menjaga kampung. Kedudukan “polisi masyarakat” dan fungsinya pengawal “siskamling” di kampung. Kalau ada orang berniat buruk masuk kampung misal “mencuri” ia akan tertib-amankan. Yang melawan hukum dicegat. Mau pulang, dihambatnya. Harimau jenis ini tak mau memakan orang meskipun orang jahat. Sekedar membri peringatan, supaya tak berniat jahat lagi masuk kampung. Kalau tipiring maling ayam, ada tanda bukti, dihambatnya sebelum ayam itu diantar kembali ke kandang yang empunya ayam kampung itu.
Harimau kampung dalam berbagai kasus (baru dan lama) juga menerkam orang bersalah secara adat – syara’ dan melawan hukum. Dalam naskah Manuskrip Inderapura (MIP, h.98) disebut: … si Panduk ditangkap harimau, maka merebutlah hulubalang penunggu, lawannya dengan harimua itu, maka dapatlah mayat si Panduk…”. Si Panduk (kerabat raja) ditangkap harimau kerena bersalah, melanggar adat – syara’, membawa jandanya bernama “Pita”. Pita ini pengasuh Putri Lelo Rekna datang ke Inderapura mendampingi suaminya Sultan Firman Syah Regent ke-3 di Inderapura.
Kedua Harimau Jadi-jadian. Abu-abu. Pisiknya tak jelas. Wujudnya dua, kadangkala harimau, kali yang lain manusia. Wujud harimau, hanya yang bisa melihat Tunganainya. Inilah jenis harimau membuat bulu tengkuk merinding. Di kampung saya dulu ada disebut Inyiak Jenggot Putih punya peliharaan harimau jenis ini. Lain pula jenis manusia (harimau). Wah ini lebih menakutkan lagi. Karean prilakunya, bisa jadi jenis hebivora (pemakan tumbuhan) dan predator karnivora (pemakan daging) bahkan sperti orang omnivora (tumbuhan ya, daging ya). Pemakan segala. Jangan binatang ternak, orang pun dimakannya. Apalagi yang sering “talonsong” alias takbur “mau mencari harimau” apalagi punya pusar pula di tengkuk, itu perioritas dimakannya. Memakannya, tidak cukup daging saja, sampai tulang bahkan taiknya pun semua dimakan. Bahkan ditelan bulat-bulat.
Namun manusia harimau jadi-jadian ada juga yang baik. Harimau jadi-jadian tipe tadi tak sama dengan sejarah hariman jelmaan Syekh Kukut di Lubuk Sikarah Solok. Syekh ini penjelmaan kembali dari harimau menjadi manusia. Artinya dahulu sudah manusia juga. Penjelmaan kembali menjadi manusia dibantu Syekh Maulana Muhsin (Syekh Supayang, Solok, seangkatan dengan Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh Buyung Muda Pulut-Pulut Bayang lainnya, belajar dengan Syekh Abdul Rauf Singkel – Aceh, abad ke-17).
Cerita Syekh Kukut penjelmaan kepada manusia dari wujud harimau itu, berlangsung ketika Syekh Maulana shalat di sebuah batu hampar besar. Saat shalat itu, ada harimau menungguinya di belakang. Ia mengukut-mengukut (menggaruk-garuk) batu itu dengan kuku tajamnya, sehingga menampakkan kesan gores di batu itu. Selesai Syekh Maulana shalat, ia menoleh ke harimau itu. Ia bertanya, apakah kau akan menerkamku dengan mengukut itu? Tidak! Aku manusia juga. Bantu aku Syekh kembali menjelma menjadi manusia. Aku mau tobat. Akhirnya harimau itu didoakan kepada Allah SWT oleh Syekh Maulana dan ditaubatkannya. Akhirnya ia menjadi ulama besar pula bernama Syekh Kukut. Sekarang makamnya terdapat di Taman Masjid Lubuk Sikarah, menjadi bagian sejarah keulamaan di Solok.
Ketiga Harimau Agam dipopulerkan dari Harimau Campo. Jenis ini, harimaunya lain. Sebut Inyiak Tambijo, kalau ia mau makan, memilih. Tak sembarang makan. Ia pilih “hati jantungnya” saja. Saya sempat terpingkel sampai mata saya berair, mendengan cerita Inyiak ini.

Inyiak Siang dan Inyiak Malam
Harimau di Minangkabau adakalanya disebut Inyiak dan adakalanya disebut rajo hutan. Penyebutan gelar inyiak itu dilihat dari perspektif perjalanannya. Panggilan inyik itu di Minangkabau ada dua: (1) Inyiak Siang dan (2) Inyiak Malam dan Inyiak Balang aau Rajo Hutan.
Pertama, Iyiak Siang, artinya orang mulia. Di Luak Agam penghulu dipanggil Inyiak. Boleh wujudnya orang tua yang dimuliakan sebagai pimpinan kaum suku. Atau orang gadang (diberi tuah memimpin). Orang gadang ini ada pula tiga: (1) orang “gadang” digadangkan oleh kaumnya dengan memberi gelar sakonya “datuak atau penghulu”, (2) orang “basa” (besar, dibesarkan), artinya datuak atau penghulu itu dibesarkan dalam sukunya, serta (3) orang “batuah” yakni datuak atau penghulu itu diberi tuah di nagari, dalam kerapatan (musyawarah). Ia dibawa duduk samo randah, tagak samo tinggi (dalam kelarasan bodi caniago) atau duduk sahamparan dan tegak seedaran (dalam kelarasan koto piliang).
Kedua, Iyiak malam. Inyiak yang satu ini jalannya tengah malam. Inilah yang disebut harimau atau inyiak balang atau rajo hutan, karena habitat (rumahnya) “hutan”.
Harimau Sumatera Kekayaan Hayati Indonesia
Apakah jenis Inyiak Malam tadi disebut Harimau Sumatera. Mungkin! Mungkin pula harimau kampung, karena dalam keadaan tertentu ia masuk kampung. Namun orang Minang justru baru mengenal nama Harimau Sumatera. Praktis setelah meningkatnya upaya konservasi hutan sekaligus rajanya Harimau Sumatera. Konservasi ditingkatkan karena sering terancam, diburu, dikuliti, dibuat figura, disimpan/ dijual sebagai barang antik dan, disimpan itu hidup – mati, harganya mahal. Banyaklah fenomena mengancam habitatnya, selain memburunya juga merusak istananya hutan, dalam praktek “deforestasi” (penggundulan) hutan. Penggundulan hutan dalam banyak kasus justru dilakukan oleh sementara pemegang HPH – Hak Pengusahaan Hutan (atau nama baru IUPHHK-HA – Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam) dan atau perambah hutan secara liar (illegal logging) besar-besar.
Penggundulan hutan, mengancam habitat Harimau Sumatera yang subspesies pisiknya berbeda dengan harimau lain di dunia. Surai tipis sekitar leher, memperlihatkan tanpang lebih gagah. Bulunya cantik rapat dan tipis. Warna indah jingga gelap dengan loreng hitam, mirip sidik jari manusia, menjadikan identitasnya yang unik. Ukuran pisiknya relatif kecil dari semua subspesies yang ada di dunia. Karenanya bergerak lincah di hutan lebat Sumatera. Tubuh yang jantan, kata ahlinya antara 2,3–2,5 meter dan berat 75–140 kg. Jenis betina antara 70–110 kg. Kakinya sedia siap melompat jauh, mengejar mangsa di medan sulit perburuannya.
Harimau Sumatera begini, persislah Inyiak Malam disebut Dt. Tambijo. Berjalan malam, di ekologi dan budaya istimewa. Predator ya, tetapi dalam mangsa, populasi hebivora (hewan pemakan tumbuhan) tetap terkendali keseimbangannya, sehingga tidak merusak hutan. Hal itu disebabkan karena pemangsaannya yang tidak berlebihan tadi terhadap vegetasi (kehidupan tumbuhan) di hutan sebagai habitatnya.
Visi Kosmologi Minang: Lestari Alam Biotik dan Abiotik
Orang Minang dibekali nilai kode prilaku bersumber adat – sandi syara’. Dari spirit falsafah alamnya (kosmologi orang Minang), menawarkan nilai kearifan konsevasi (melindungi) alam. Mulai dari memelihara bi`ah (lingkungan) sebagai habitat makhluk hidup sampai melindungi makhluk hidup itu. Menjaga alam seiring dengan menjaga hubungan antar manusia di samping terutama hubungan dengan Tuhannya. Konservasi alam, justru visi pertama nagari (wilayah inti kultur Minangkabau) adalah “alam lestari”. Minang itupun disebut “Alam Minang”. Alam lestari dimulai dari lingkungannya: baik lingkungan abiotik (alam non hayati: tanah basah, tanah kering, bukit dan gunung dan lahan hutan lainnya yang tak bernyawa), maupun biotik (alam hayati), mulai tumbuhan dan tanaman, sampai manusia, habitat hewan dan yang bernyawa lainnya).
Hewan lingkungan biotik satu di antaranya “harimau”, tidak saja dilindungi tapi di Minang malah menjadi sahabat. Artinya orang Minang tak pernah pusing-pusing takut harimau, karena teman dan disahabati. Sebab bersumber falsafat kosmologinya “Alam Takambang Jadi Guru” (ATJG), rang Minang pandai membaca kearifan alam, termasuk gejala prilaku harimau. Petiti mereka, “harimau mengaum tidak akan menerkam”. Karenanya jangan harimau dibuat mengaum.
¹Pengajar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol dan Dewan Pakar LKAAM Sumatera Barat, Ketua Pembina Sako Anak Negeri di Padang dan Ketua Pembina Pusat Studi Islam dan Adat Minangkabau (P-SIAM) di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang. Artikel disiapkan untuk Dialog Budaya: Nilai Spiritualitas dan Budaya untuk Konsevasi Harimau Sumatera, Panitia Talk Show Universitas Nasional, UIN Imam Bonjol dan WWF, di Kampus III UIN Imam Bonjol di “Balai Gadang” Gedung J, Kamis 28 Agustus 2025.
²Disebut dalam Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau. Pengawal Sri Sultan Maharaja Diraja, menjadi simbol Agam, h.19. Menjelma jadi manusia, h.20. Masuk ke Agam (menjadi simbol Agam), h.21. Tidak mengaum tetapi mendengus, terkejut seluruh binatang di Gunung Marapi, h. 38. Dipakai penamaan orang besar Minangkabau disebut Pemuncak (Kelarasan) Koto Piliang “Harimau Campo” di Batipuh di Sungai Jambu dan Tinggi Alam di Pariangan Padang Panjang Batu Bulek dengan fungsi Pasak (Kungkuang) Minangkabau, h.43-46.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya






