BANDASAPULUAH.COM – Pertemuan Diaspora Minang dan Bundo Kanduang Minang Sedunia yang digelar Minang Diaspora Network Global (MDN-G) di Hotel Pangeran Beach, Padang, Senin (4/12/2023), menjadi ruang diskusi penting bagi tokoh-tokoh adat, budaya, dan agama Minangkabau dari dalam dan luar negeri.
Kegiatan ini merupakan rangkaian forum marathon yang berlangsung dari 3 hingga 13 Desember 2023, mencakup empat kota di Sumatera Barat, yakni Padang, Bukittinggi, Tanah Datar, dan Payakumbuh.
Pertemuan internasional ini mengundang sejumlah tokoh Minangkabau dari dalam dan luar negeri dalam Dialog Interaktif Tokoh Adat, Budaya, dan Agama bertema “Pewarisan Nilai-Nilai ABS-SBK dalam Masyarakat Minangkabau Ditinjau dari Aspek Bahasa Ibu”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskusi dipandu oleh Dirwan Ahmad Darwis, BMC., MA, dengan menghadirkan narasumber terkemuka seperti Prof. Dr. H. Taufik Abdullah Tuangku Pujangga Diraja (Ketua LIPI 2000–2002), Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc, M.Ag Datuk Palimo Basa (Ketua MUI Sumbar), Prof. Dr. Gusti Asnan (sejarawan UNAND), Prof. Dr. Puti Reno Raudha Thaib, MP (Ketua Perkumpulan Bundo Kanduang Minangkabau), Dr. Shofwan Karim (tokoh Muhammadiyah Sumbar), Novri Latief (Ketua Surau Sydney, Australia), serta Afdhal Koto, Ketua Rumah Gadang Amerika Serikat.
Dalam kesempatan itu, Afdhal Koto tampil sebagai salah satu narasumber yang menyoroti persoalan krisis identitas masyarakat Minangkabau.
Menurutnya, banyak orang Minang yang hanya memperkenalkan budaya lewat rendang atau lagu-lagu Minang, padahal hal tersebut belum cukup untuk mencerminkan jati diri Minangkabau yang sesungguhnya.
“Kalau seseorang hanya pandai memasak rendang, maka ia sekadar pecinta kuliner. Begitu juga kalau hanya tahu lagu Minang, artinya ia hanya penggemar musik. Untuk menjadi Minang seutuhnya, kita harus menjadikan Adaik nan Ampek sebagai landasan hidup, karena di sanalah letak kekuatan Minang,” tegas Afdhal Koto.
Ia menegaskan bahwa Minangkabau memiliki pepatah dan falsafah hidup yang relevan hingga kini. Salah satunya adalah pepatah “Siang manjadi tungkek, malam manjadi kalang”, yang menurut Afdhal harus kembali dipedomani.
Prinsip itu bahkan ia terapkan kepada anak-anaknya sebagai wujud nyata penanaman nilai Minangkabau di perantauan.
Afdhal juga menekankan bahwa bahasa Minang adalah bahasa filosofi, yang memiliki kedalaman makna seperti konsep ma’rifat dalam ajaran agama.
Karena itu, ia mengkritisi maraknya penggunaan bahasa campuran seperti “Bahasa Indonesia Minang” yang dinilainya justru melemahkan identitas.
“Kekuatan Minang terdapat pada kemampuan untuk menjadi diri sendiri, bukan dengan mencampuradukkan nilai luar. Ketika kita tetap berpegang pada bahasa dan adat Minang, kita akan terlihat berbeda dan unik. Di situlah sebenarnya kekuatan kita,” ujarnya.
Selain itu, Afdhal menyinggung pentingnya tradisi pasambahan atau pidato adat.
Menurutnya, kemampuan ini merupakan ciri khas diplomat sejati yang sudah melekat dalam budaya Minangkabau, dan seharusnya diwariskan kepada generasi muda.
Dalam paparannya, Afdhal juga memperkenalkan sebuah inisiatif bernama “Virtual West Sumatra”. Program ini digagas untuk menjembatani komunikasi antara generasi muda Minang yang berada di luar negeri dengan mereka yang tinggal di tanah air.
Lebih jauh, Rumah Gadang Amerika Serikat yang ia pimpin telah menjalin kerja sama dengan Surau Sydney di Australia melalui program pertukaran.
Inisiatif ini diharapkan mampu mempertemukan diaspora Minang lintas generasi untuk melahirkan dialektika antara Minang di ranah dan di rantau.
Tidak hanya itu, Afdhal juga mengangkat perspektif baru tentang hak perempuan dalam adat Minangkabau. Ia merujuk pada sebuah makalah berjudul “Women Right in Minangkabau Perspektif”, yang membahas pergesekan adat dan budaya, terutama terkait posisi perempuan. Pandangan ini, menurutnya, bahkan telah mendapat perhatian positif dari presiden.
Ia juga mengutip pandangan Prof. Taufik Abdullah bahwa salah satu kekuatan orang Minang adalah kemampuannya memahami dan mengendalikan orang lain.
Bagi Afdhal, hal ini memperlihatkan kedalaman intelektual dan filosofi Minangkabau yang patut terus diwariskan.
Pengalaman Afdhal di dunia service industry atau pelayanan publik turut menguatkan pandangannya. Ia menemukan bahwa banyak nilai Minangkabau yang sejalan dengan prinsip pelayanan modern, sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan global.
Tak lupa, ia juga menegaskan bahwa musik Minang memiliki karakter khas yang tidak bisa disamakan dengan musik Barat.
Musik Minang, kata Afdhal, adalah bagian dari kekayaan etnologi yang perlu dilestarikan.
Menutup pemaparannya, Afdhal Koto menyerukan agar masyarakat Minang di ranah maupun di rantau tidak lagi meremehkan kekuatan budaya mereka sendiri.
Ia mendorong hadirin untuk mulai mengenali, memahami, dan memanfaatkan nilai-nilai Minangkabau sebagai kekuatan kolektif.
“Jangan pernah meremehkan kekuatan kita sendiri. Minangkabau akan tetap bertahan jika kita kembali kepada adat dan nilai yang diwariskan leluhur,” pungkasnya.






